Jumat, 06 Februari 2009

Udah Gede Seneng Ngompol?

Entah, tiba-tiba saja hari ini kok pengin ngompol. Jangan salah sangka dulu ya, ngompol yang saya maksud di sini adalah ngomongin politik. Yah, harap maklum saja, hajatan pemilu sudah makin dekat saja. Bahkan sebelum pemilu legislatif bulan April nanti, desa saya bulan ini ada pesta pemanasan dengan adanya PILKADES, pemilihan kepala desa.

Membicarakan masalah pergantian kepemimpinan baik dari tingkat desa sampai tingkat negara yaitu presiden, semenjak era reformasi ini kita akan dikenalkan dengan berbagai merk pil. Dari pilkades, pilkadal (disini ada dua jenis pilbup dan pilgub) sampai dengan pilpres. Uniknya, semua memiliki ciri-ciri dan karakter yang hampir-hampir sama, yaitu semuanya membutuhkan biaya yang besar.

Baru-baru ini tentu kita masih ingat pilkadal gubernur jatim yang harus melewati 2 putaran plus babak tambahan. Pilkadal itu harus dibiayai dengan uang negara 800 milyar lebih. Itu baru biaya yang keluar dari kas negara, belum dari kantong-kantong calon gubernur, sponsor, kader-kadernya, dll. Tentu kalau kita kalkulasi akan kita temukan jumlah yang bisa-bisa akan membelalakkan mata kita.

Celakanya (ini menurut saya lho), rangkaian hajatan pilkadal dan pilpres itu seperti gerbong kereta yang saling mengantri. Hampir dalam waktu sepanjang 5 tahun. Menjadi semacam hajatan musiman. Kemaren-kemaren kita merasakan hiruk-pikuk pilihan bupati/walikota, di semua daerah saling bergantian. Setelah itu pilihan gubernur, silih berganti di setiap propinsi. Dan gong nya adalah pilihan presiden.

Ketika saya takziyah tetangga saya di klaten yang meninggal beberapa bulan yang lalu, saya sempat berbincang dengan seorang kawan yang aktif di sebuah harokah tertentu (maaf ya, rahasia), dia mengatakan negara ini sudah bobrok. Bagaimana tidak bobrok, kegemarannya adalah berpesta. (Sstt, kalian tahu kan bahwa pemilu adalah pesta demokrasi? hihihi).

”Kamu bisa bayangkan, kalau sebuah keluarga sukanya berpesta melulu, apa tidak hancur lama-lama?” begitu katanya bersemangat. ”Coba pikir, berapa biaya buat pilkadal-pilkadal itu. Kenapa tidak dibuat bareng saja kalo misal diperlukan. Sehingga biaya bisa diminimalisir!”

”Terus misal seorang bupati telah terpilih, belum apa-apa dia sudah harus mempersiapkan adanya pilihan gubernur. Habis itu nanti ada pilihan legislatif. Terus pilihan presiden. Kapan dia akan mikirin pembangunan wilayahnya. Maka lihat saja, jangan heran kalo melihat jalan-jalan rusak terbengkalai tidak segera diperbaiki. Banyak anak putus sekolah karena mahalnya biaya sekolah.” Saya hanya bisa manggut-manggut saja mendengarkan ocehannya.

Istri saya yang biasa memeriksa instansi-instansi pemerintahan, dari ceritanya saya banyak menemukan berbagai cerita penyimpangan anggaran untuk hal-hal yang pribadi maupun kolektif. Beberapa kasus kemudian memang sampai ke pengadilan prosesnya. Maksud saya menceritakan ini, ternyata pemimpin hasil pilihan (yang katanya langsung ini) belum mampu menghasilkan kepemimpinan yang baik dan bersih. Dalam pandangan saya, jika ia masih didukung dana dan jaringan (apapun) yang kuat, bisa dipastikan dia akan terpilih. Meski ia seorang maling sekalipun.

Berarti, apakah semua ini salah? Saya tidak akan mengatakan demikian. Bagi saya, pertama : sebenarnya semua wasilah (alat) demokrasi ini sepanjang bisa dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat (rakyat banyak) maka tidak ada yang salah. Yang salah adalah yang memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi dan golongannya. Kemudian ia menggunakan segala cara dan daya upaya, meski licik dan menyakitkan sekalipun, agar ia bisa menduduki kursi kepemimpinan tersebut. Dan kemudian paradigma kepemimimpian yang seharusnya melayani itu berubah menjadi (harus) dilayani.

Kedua, perilaku pemilih yang perlu kita sadarkan bahwa memilih kepemimpinan adalah sesuatu penting. Dan semestinya pemimpin yang hendak dipilih adalah seorang yang shalih dan mushlih. Mempunyai kesalehan pribadi sekaligus mempunyai kemampuan mensalehkan orang lain dan lingkungannya. Hal itu setidaknya bisa dilihat dari sifatnya yang amanah (mempunyai integritas dan bisa dipercaya), shidiq (kejujurannya baik kepada diri sendiri, keluarga, maupun rakyatnya), tabligh (menyampaikan segala sesuatu tanpa dikurangi dan ditambahi) dan fathonah (yaitu cakap, cerdas dan profesional).

Yang ketiga (setidaknya ini mimpi saya), bagaimana menciptakan hajatan pemilu dengan biaya semurah dan seminimal mungkin. Entah dengan merubah aturan bahwa suara terbanyak sekaligus adalah pemenangnya (tidak harus melewati batas minimal persentase 30 persen) sehingga tidak harus melewati beberapa putaran (seperti dalam pilkades, jika si jagung adalah peraih suara terbanyak maka otomatis dia yang berhak menjadi kadesnya). Atau rangkaian pilbup dan pilgub di berbagai daerah itu dibuat dalam satu waktu, sekalian repot, begitu istilah saya.

Sudah ya, itu tadi hanya ocehan saya yang tidak berdasar. Hanya lamunan sekaligus impian yang mungkin butuh keajaiban untuk bisa terealisasi. Terakhir, sebagai warga negara yang baik, hanya dengan menggunakan hak pilih kita secara bijak dan bertanggungjawablah yang bisa kita lakukan. Pilihlah calon pemimpin yang memang bisa kita pertanggungjawabkan di dunia dan akherat. Selanjutnya hasilnya kita serahkan kepada Yang Di Atas sana.

Menara Jamsostek, Jumat 06/02/2009

4 komentar:

  1. masyarakat rusak, menghasilkan pemimpin yang rusak. Masyarakat baik, maka akan memilih pemimpin yang baik
    Sekarang???

    BalasHapus
  2. Sekarang??? Wah... silakan dinilai sendiri deh mas :(

    BalasHapus
  3. Setuju pak, para pemimpin kita seharusnya menyadari bahwa ketika ia memimpin maka berarti ia harus melayani warganya, bukan malah minta dilayani....


    ^_^

    BalasHapus
  4. Mas Faiz, makin hmmm deh, hehehe. Semoga cepet menemukan sang bidadari deh...

    ~masker~

    BalasHapus