Rabu, 15 Oktober 2014

Rencang Kula Sampun Rumiyin


Kiosnya sederhana. Tidak lebih dari dua kali tiga meter ukurannya. Dindingnya pun terbuat dari anyaman bambu. Letaknya di sebuah sudut jalan masuk di pinggiran jalan lingkar (ring road) di utara yogya. Di pojok depan kios, tertata rak botol-botol bensin ukuran satu literan. Di kiosnya tersebut dijajakan berbagai macam makanan kecil, dan kebutuhan rumah tangga seperti sabun, odol, sandal, kecap dan sejenisnya. Tampak dua atau tiga kandang burung yang tergantung di depan kios.

“Buat mengisi waktu, mas” jawabnya ketika saya bertanya tentang kesibukannya merawat burung jalak, yang kandangnya bergantung-gantung di depan kios tersebut. “Anak saya tiga. Yang sulung kuliah semester lima. Adiknya masuk tahun ini. Dan yang ragil masih SMP.” Tanpa saya minta ia menceritakan anak-anaknya. Sembari menuangkan tiga botol bensin ke dalam revo saya, kendaraan yang setia mengantar jemput selama ini.

Pagi itu semenjak dari rumah, indikator bensin revo saya menunjuk pada garis strip merah. Sebuah pertanda bahwa ia sudah sangat amat haus. Sampai dengan kios bensin satu ini, bukanlah tidak ada penjual bensin eceran lain yang terlewati. Sekitar 4 kilo meter dari rumah, kalo saya hitung bisa 6 atau 7 kios bensin sejenis. Tapi pagi itu, saya seperti dituntun untuk berhenti di kios bapak ini. Barangkali untuk sekedar ikut mendengarkan cerita-ceritanya.

“Rencang kula sampun rumiyin mas.” Tiba-tiba ia berganti topik pembicaraan. Sambil mengulurkan uang kembalian. “Kira-kira dua tahun lalu.” Saya sempat agak lola (loading lambat) ketika mendengar kalimat dia yang pertama. Pulang? Ke kampung halaman? Setelah loading sesaat, barulah saya menangkap bahwa istri bapak ini telah lebih dulu berpulang 2 tahun lalu. “Karena sakit. Jadi saya sekarang harus sendirian mengawal 3 anak-anak saya.” Terawangnya.

Nadanya getir. Rautnya wajahnya datar, tampak mengenang sosok yang sekian lama mengisi hatinya dan hari-harinya dulu. Dari garis mukanya, tampak perjuangan untuk melanjutkan hidupnya telah menguras tenaga dan pikirannya. Ya, sudah dua tahun ini dia berjalan sendiri. Teman seperjalanannya telah lebih dulu berpulang. Temannya yang mengisi setengah jiwanya telah kembali lebih dulu, sehingga seolah tinggal separuh jiwanya kini yang tersisa.

Sepanjang perjalanan selanjutnya, selepas dari kios itu, saya banyak merenung. Istri/Suami dalam bahasa jawa disebut sebagai garwa, simbul dari sigaraning nyawa (seprauh nyawa) kita. Kalau dalam bahasa langit, ia adalah symbol setengah agama kita. Dan kalau dalam bahasa lagu, ia adalah separuh nafas kita. Maka ketika salah satu dari suami atau istri itu telah lebih dulu berpulang, maka bisa dibayangkan seperti apakah ruang kosong yang terbentuk dalam jiwa di sana. Hampa.

Ia adalah orang terlekat dalam hidup kita yang setia menemani hari-hari kita, karenanya tidak heran sang bapak tadi membahasakannya sebagai ‘rencang’, teman hidup. Tentu banyak hal telah mereka perbuat dan lalui. Pahit getir kehidupan, susah senang perjalanan, riak-riak kehidupan, telah mereka libas berdua. Terlalu banyak memori telah tertoreh dalam ruang masa itu. Ketika tiba-tiba salah satu harus lebih dulu ‘kembali’, tiba-tiba ruang itu menjadi terasa hampa.

Ah, saya jadi teringat lekat dengan separuh jiwa ini yang di sana. Terlalu banyak waktu kebersamaan yang terlewat karena jarak dan waktu selama ini. Masih terlalu sedikit kebahagiaan yang bisa saya persembahkan untuknya sebagai bagian paruh nafasnya. Semoga dengan waktu-waktu yang tersisa ke depan, saya bisa semakin menjadi bagian memori-memori indahnya. Memori-memori yang akan terukir abadi dalam ruang-ruang masa itu.


@Jogjakarta, 15 Oktober 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar