Siapa
tidak kenal Ibnu Batutah, ia sampai di pesisir Pasai setelah menempuh
perjalanan laut selama 25 hari dari India. “Pulau itu hijau dan subur.”
tulisnya, sebagaimana dikutip dalam buku The Indonesia Reader, History,
Culture, Politics. Ibnu Batutah, pria asal Maroko, adalah
penjelajah dunia yang pernah singgah ke Nusantara. Ia singgah di Pasai pada
abad ke-14 dan membuat catatan kehidupan negeri tersebut. Dari
catatan-catatannya itulah ia makin dikenal.
Siapa
tidak kenal Imam Syafi’i, “Ia ibarat matahari bagi bumi, dan kesehatan bagi
badan. Maka adakah yang bisa menggantikan keduanya?” Begitulah Imam Ahmad
bin Hambal menggambarkan gurunya itu Imam Asy-Syaf’i, yang memiliki
keluasan ilmu, kecerdasan dan kekuatan hafalan yang luar biasa. Ia memang telah
dididik sejak kecil oleh ibundanya untuk mencintai ilmu. Namun melaui
kitab-kitabnya yang ia tuliskan, telah ia wariskan ilmu yang berguna sepanjang
masa.
“You
can never cross the ocean until you have the courage to lose sight of the
shore.” Engkau tidak akan bisa menyeberangi samudera kecuali engkau
punya keberanian kehilangan kontak pandang dengan garis pantai. Mungkin ucapan
ini terlalu klise. Puistis? Tidak juga. Tapi setidaknya kita mengenal kalimat
ini, konon, berasal dari ucapan seorang bernama Columbus yang diakui dunia
sebagai penemu benua Amerika. Tentu ia tidak main-main dengan ucapannya
tersebut.
Kapalnya
melepas sauh dari Spanyol tanggal 3 Agustus 1492. Melabuh pertama di Kepulauan
Canary di lepas pantai Afrika. Membongkar sauh di Kepulauan Canary tanggal 6
September dan berlayar melaju ke arah barat. Sebuah pelayaran yang bukan main
panjang, sehingga tidak aneh jika para awak kapal merasa ngeri dan ingin balik
saja. Colombus? Tidak! Perjalanan mesti diteruskan. Dan tanggal 2 Oktober 1492
bagaikan seutas sutera hijau, daratan tampak di ujung haluan. Ia temukan benua
itu.
Sejarah
ada karena adanya tulisan, dan proses pewarisan ilmu dari generasi ke generasi
pun terjadi dengan media tulisan, maka menulislah! Mungkin kita tidak
perlu menunduk malu karena tulisan kita tidak sebagus Andrea Hirata dengan
Laskar Pelanginya, tidak sehebat Habibburahman El Shirazy dengan Ayat-Ayat
Cintanya. Tetaplah tetaplah berusaha menulis, karena kita memiliki peluang
serta kesempatan yang sama untuk menulis sesuai kehendak dan misi kita.
Masker.
Sleman, 30Januari2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar