Dalam rentang perjalanan hidup kita masing-masing, kita akan selalu dipertemukan dan dihadapkan dengan pilihan-pilihan. Seringnya, pilihan itu harus dipilih dari dua hal yang terkadang, hampir sama-sama beratnya dari segi risiko, atau sama-sama baiknya dari segi manfaat. Sehingga agama ini mengajarkan agar kita bertanya kepada hati nurani terdalam kita, atau pada titik puncaknya kita diminta untuk istikharah meminta petunjuk kepada Dzat Yang Maha Pemberi Petunjuk.
Entah sudah berapa kali aku
bertemu dengan pilihan-pilihan tesebut, yang pasti dalam perjalanan usiaku, salah
satu pilihan terberat adalah ketika harus memilih antara karir atau keluarga. Ada
beribu pertimbangan yang harus kupilih, sehingga pada akhirnya aku pun harus
sampai di titik pencapaian seperti saat ini. Harus mengambil risiko untuk
menjauh dari zona nyaman, demi sebuah nilai dan idealita, dan juga tuntutan
untuk tetap bertahan atau menyerah.
Beberapa sahabat bahkan telah membuat keputusan yang bagi sebagian orang umum, mungkin dianggap sebagai sebuah langkah yang konyol. Ketika mereka dihadapkan pada kenyataan harus mutasi atau promosi ke luar daerah, meninggalkan keluarga yang notabene sebagian besar anak-anak mereka masih membutuhkan pengasuhan dan pendampingan, sementara untuk pilihan memboyong keluarga adalah pilihan yang sulit, mereka pada akhirnya lebih memilih mundur.
Bisa dibayangkan, mundur dari
posisi sebagai pegawai di sebuah instansi kementerian yang bonafide, yang notabene
bagi sebagian besar orang adalah merupakan impian, di saat (ada sebagian yang)
karirnya sedang menanjak, tentu merupakan sebuah keputusan yang diambil atas
pilihan-pilihan yang berat bukan? Tapi aku sangat memahami pilihan mereka. Pada
titik itu, ada nilai dan idealita yang membentuk mereka dan menjadi prinsip
hidup yang tidak bisa ditawar lagi.
“Ini tawaran terakhir, Makassar
atau Yogya? Ditunggu hari ini” aku teringat dengan pertanyaan tantangan
tersebut, di awal tahun 2012. Pertanyaan berat itu dilontarkan salah seorang
seniorku, selepas sholat Ashar, di serambi masjid yang berada di jantung
gedung-gedung perkantoran pusat instansi tempat aku bernaung. Aku bergeming.
Aku lebih memilih untuk kembali ke Yogya, dalam misi mengawal dan mendampingi
masa-masa krusial anak-anakku.
Maka aku kemudian tenggelam dalam
pernak-pernik membersamai anak-anak dalam menyongsong pendidikan menengah dan
tingginya. Selama 5 tahun sebelumnya aku cukup terbantu dengan keberadaan anak
pertama dan kedua yang masuk di sekolah boarding untuk tingkat SMP nya. Maka di
tingkat SMA berikutnya, karena aku ingin mereka mulai berbaur dengan komunitas
yang lebih beragam, maka aku memutuskan untuk menyekolahkan mereka di sekolah
umum.
Di sekitar penghujung tahun 2016,
seorang eselon II yang saat itu menjabat di sebuah kantor wilayah di Padang, tetiba
mengirimkan pesan via whatshapp, “Mas Keri sudah siap ikut mengemban amanah?” Duh,
sebuah pilihan sulit di saat aku sedang berada di pertengahan kuliah
magisterku. Dengan sopan aku mencoba menjawab, “Pangapunten Pak, saya sedang
menyelesaikan kuliah S2 saya ini, Pak. Semoga tahun depan bisa selesai. Mohon
doanya. Terima kasih.”
Waktu terus berlalu, peta dan
perjalanan menuju kenaikan jenjang karier semakin rigid dan rumit peraturannya.
Hingga kemudian era manajemen talenta menjadi tahapan yang harus dilalui
seseorang yang akan naik karir, dengan persyaratan dan tahapan yang semakin
detil. Dan Kementerian Keuangan khususnya
Ditjen Pajak termasuk menjadi pioneer atas implementasi dari amanat Kementerian
Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar