Sabtu, 31 Januari 2015

Seni Berbagi

Sahabatku kelas 1 SMA sedari kemarin berkirim sms kepadaku, beberapa kali aku terlambat menjawabnya. Sudah lebih dari 20 tahun kami tidak berjumpa. Bahkan jujur, sampai saat ini aku masih belum terbayang yang mana orangnya. Rupanya ia juga tinggal di Jogja. Di daerah Maguwo tepatnya. Pagi tadi ia bertanya padaku, apakah hari ini aku di rumah. Ia ingin bersilaturahim.

Aku agak keteteran sejak asisten rumah tanggaku mengajukan cuti 3 minggu untuk menikah. Betul aku ditemani bapak mertuaku, namun tetap saja tetek bengek kerumahtanggan harus aku yang handle. Dari kebersihan dan kerapian rumah, mempersiapkan anak-anak sekolah dari membangunkan hingga memastikan sarapannya, dan pernik-pernik kecil lainnya.

Siang selepas menjemput ragilku, aku smptkan membalas sms nya. Aku jelaskan keadaanku bahwa jika hari sabtu, aku disibukkan kegiatan antar jemput anak. Dia maklum. Untuk mengobati rasa bersalahku, maka aku telepon dia. Baru 3 bulan rupanya dia menetap di Jogja. Namanya Hanggoro Cahyo Adi. Setelah sebelumnya sejak tahun 1994 katanya, ia terdampar di Balikpapan.

Ia bercerita tentang keluarnya dia dari PNS di kejaksaan. Tentang keluarganya. Tentang anak pertamanya yang kelas 3 SMP. Tentang pernikahan pertamanya yang kandas. Mendengar itu aku alihkan pembicaraan. Ia kemudian ceritakan istri keduanya sekarang yang purworejo. Mereka kini dikaruniai satu anak yang masih bayi. Kami banyak bercerita tentang teman sekelas kami dulu.

Selama berbincang via telepon itu, aku mencoba mengingat sosoknya melalui suaranya, ternyata tetap gagal. Aku tidak mendapatkan sedikitpun gambaran tentang temanku ini. Fiuuuh...Parah. Kebalikannya, ia begitu tahu banyak tentangku. Akhirnya aku berjanji jika aku cukup waktu, aku akan cari rumah mereka di daerah Sambilegi. Aku sudah tahu gambaran lokasinya. 26 menit aku telepon dia.

Sementara di twitterku yang sudah jarang aku buka, ada beberapa follower baru. Perhatianku tertuju pada satu nama yang menitipkan satu keterangan dalam mention nya kepadaku. #imscolioser. Namanya Hana Nur Tasia. "Followback ka" pesannya. Khas bahasa ABG. Aku liat profilenya. Usia 14 tahun. Skoliosis 45˚. "Udah dik hana.. done. Semangat yak." Balasku setelah ku follower balik.

Aku yakin, dia memfollowku karena kesamaan kondisi tulang belakang kami. Anak ini masih muda, aku harus ikut membesarkan hatinya. "Kamu sekolah dimana dik? Kelas brp? Jaga diri. Sdh bisa renang?" Meski aku tak tahu siapa anak ini, tapi kesamaan kondisi itu cukup bagiku untuk membangun empatiku. "Curve nya 45˚? Ada rencana operasi?" Sampai di sini aku hentikan obrolanku.

Dalam kehidupan kita, tak jarang kita tiba-tiba dipertemukan dengan orang-orang yang sebelumnya tak pernah terlintas di benak kita. Tiba-tiba mereka seolah dekat dengan kita. Kita bisa berbincang dan berdiskusi luas dengannya. Kita bisa saling berbagi semangat. Semua itu biasanya berawal dari adanya kesamaan. Kesamaan dalam hal apapun. Bisa satu, atau bahkan lebih dari satu kesamaan.

Bagiku, aku sangat menikmati pertemanan-pertemanan seperti itu, dimana kita bisa saling berbagi. Dan aku punya keyakinan bahwa meski perhatian yang kita berikan itu tidaklah seberapa, itu cukup untuk membahagiakan hari mereka. Terkadang, ada hal-hal kecil yang luput dari perhatian kita, padahal ternyata sekedar membalas sapaannya itupun, bisa memancing senyumnya terkembang.

Awan yang berarak, tak pernah lelah mengirimkan pesan hujan, mengikuti arah angin yang menggerakannya.

@getas, 31Januari2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar