Rabu, 26 Maret 2008

Menegur dengan kelembutan

Beberapa hari yang lalu, ada seorang ummahat yang mengadu ke saya, karena mendapat teguran yang kurang simpatik dari qiyadahnya dan juga beberapa teman satu level qiyadahnya. Sebenarnya hanya persolan yang boleh dibilang sepele. Sore itu, di tengah keterbatasan waktunya dia menyegerakan diri untuk mengikuti tatsqif di masjid dekat rumahnya, masjid tempat ia dan keluarganya beraktifitas ibadah maupun dakwah. Dalam benaknya, yang ada adalah bagaimana dia bisa menebus waktu untuk menggantikan ketidakhadirannya dalam tatsqif selama ini.

Di tengah berjalannya tatsqif lembar absensi beredar. Ketika menjelang lembar absensi itu bergeser ke tangannya, tiba-tiba ada ummahat lain yang dengan serta merta mengambil lembar absen itu dari tangannya, "Absensi anti tidak di sini.." Sebuah kalimat pendek, datar dan tegas terucap mengiringinya. Hatinya terhenyak, adakah kesalahan yang telah dia perbuat.

Belakangan dia baru mengerti ketika datang sms dari qiyadahnya. "Anti boleh tatsqif di masjid A, B atau C. Tapi tidak di masjid D. Mohon pengertiannya." begitu bunyi pesan singkat tersebut. Dalam hati dia bertanya, kenapa? Untuk meyakinkan hati, dia mencoba mencari jawab dari teman satu halaqohnya. Di dapatlah jawaban bahwa tatsqif di masjid dekat rumahnya tersebut adalah untuk kader level di atasnya.

Waktu berlalu, tapi hatinya belum bisa menerima. Begitukah cara menegur yang berlaku di jamaah dakwah ini? Tidakkah bisa dengan bahasa dan sikap yang lebih lembut? Tidak cukup di situ, bahkan 'salah masuk' nya dia dalam sebuah salah satu wasilah yang bernama tatsqif itu pun perlu dibahas di forum qiyadahnya. Bukankah dakwah ini mengajarkan kelembutan kepada obyek dakwah, apalagi kepada sesama kader? Bukankah dakwah ini mengajarkan untuk mengedepankan khusnudzon?

Saya menjadi teringat dengan taujih salah seorang ustadz, "Akhi, kita ini berhimpun dalam dakwah ini semata-mata karena ikatan iman dan ukhuwah. Tidak ada ikatan selain itu, apalagi ikatan materi. Karenanya, menjadi seorang qiyadah itu bukan untuk menguasai, tapi untuk mengasuh dan mengasihi. Bukan pula semangat memukul tapi semestinya merangkul. Jangan umbar kemarahan tapi umbarlah keramahan. Jadikan semangat menghukum itu pilihan yang paling akhir."

Saya hanya takut, hak-hak ukhuwah barangkali belum sepenuhnya tertunai dalam diri para kader ini. Bahwa tingkatan ukhuwah yang paling mendasar, kata Imam Hasan al Bana adalah, kelapangan dada dalam menerima keadaan saudaranya. Dan puncaknya adalah itsar. Sudahkah kita melapangkan dada kita dengan kekhilafan yang barangkali terjadi tanpa dia sengaja?

Bahkan lebih lanjut Al Qur'an memerintahkan untuk selalu menjaga semangat ukhuwah ini. Ada rambu-rambu yang Allah gambarkan dalam Surat AL Hujurat ayat 6-12, diantaranya adalah :
- Budayakan untuk senantiasa bertabayun (fattabayyanu)
- Semangat untuk selalu ishlah (fa ashlihu)
- Jangan saling mengolok-olok (laa yaskhor)
- Jangan suka mencela (laa talmizu)
- Jangan memberi sebutan yang buruk (laa tabanaazu bil alqob
- Jauhi dari banyak prasangka (ijtanibu katsiiran minadz-dzon)
- Jangan mencari-cari kesalahan (laa tajassasu)
- Jangan saling menggunjing (laa yaghtab-ba'dhukum ba'dho)

Semoga kita bisa selalu menyemai semangat ukhuwah ini. Teguran adalah bagian dari berukhuwah. Tetapi menegurlah dengan lembut. Sebagaimana lembutnya akhlaq seorang mukmin yang dituntut dalam Al Qur'an, 'ruhamaa'u bainahum..." mereka saling bersikap lembut di antara mereka. Agar para kader merasa nyaman dalam bangunan dakwah ini.

Allahu a'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar