Rabu, 26 Maret 2008

Tentang Cinta

‘Istri bisa menguatkan komitmen dakwah sehingga kita sanggup berjauhan untuk waktu yang lama. Bukan karena tidak adanya rasa sayang, tapi karena kuatnya komitmen dakwah ilaLlah. Sebaliknya, ia bisa membuat jiwa kita rapuh !’ (M Fauzil Adhim)

========================================

Beberapa saat setelah kabar meninggalnya seorang sahabat kita setelah sang istri beliau meninggal terlebih dahulu beberapa waktu lalu, cukup lama saya mencoba mengurai dan merenungkan kembali tentang makna cinta, mencintai dan juga dicintai.

Saya teringat akan tulisan seorang Anis Matta, beliau mengatakan tampaknya inilah rahasia besar di balik peringatan Allah swt dalam Al-Qur’an, bahwa istri, anak-anak, orang tua, atau siapa saja yang kita cintai, setiap saat dapat menjadi musuh bagi kita. Mungkin dalam bentuk permusuhan langsung, tapi bisa juga dalam bentuk cinta yang berlebihan, yang berkembang sedemikian rupa menjadi ketergantungan jiwa.

Lebih lanjut beliau katakan, cinta seperti itu pasti tidak akan menjadi sumber energi dan kekuatan jiwa. Ia akan menjadi sumber kecemasan dan ketakutan. Kecantikan sang istri akan berubah menjadi ancaman yang membuat kita ngeri membayangkan perpisahan.

Itulah sebabnya Abu Bakar pernah menyuruh anaknya, Abdullah, menceraikan istrinya. Itu karena beliau melihat bahwa anaknya terlalu mencintai istrinya, dan cintanya telah berubah menjadi semacam ketergantungan. Ketergantungan itu membuatnya takut berpisah dengan istrinya, bahkan kadang untuk sekadar melakukan shalat jamaah di masjid. Umar Bin Khattab juga pernah menyuruh anaknya, Abdullah Bin Umar, yang notabene merupakan satu dari tujuh ulama besar di kalangan sahabat, untuk menceraikan istrinya, dalam kasus yang sama.

Cinta adalah sumber kekuatan jiwa yang dahsyat. Tapi ketergantungan adalah kelemahan jiwa yang fatal, yang dalam banyak hal merupakan sumber kehancuran.

Bagi saya terkadang masih terlalu tipis untuk bisa membedakan cinta yang bisa membangun kekuatan jiwa, dengan cinta yang justru melemahkan jiwa karena menimbulkan faktor ketergantungan yang mungkin tidak berujung.

Saya dan istri termasuk yang tak henti-hentinya saling mendeklarasikan makna cinta dengan ungkapan setiap saat. Di sms atau ketika di sela-sela telepon, dalam perjumpaan lebih tak terhitung lagi, hampir selalu terselip bisikan cinta. Saya berdoa semoga cinta kami bukan cinta yang membuahkan ketergantungan yang melemahkan jiwa, tapi cinta yang membuahkan energi untuk selalu berbuat kebaikan.

Ahad sore kemaren, seorang al akh yang begitu setia hampir setiap pekan selalu mengantar saya ke stasiun kereta, mengirim sms, “Pak, nanti malam berangkat ke stasiun jam berapa?” Istri saya yang membaca sms tsb, kemudian mengetikkan sms balasan mewakili saya, “Mas, nanti malam yang mengantar pacar saya saja. Masih kangen je. Sampeyan istirahat dulu aja ya”.

Alhasil, malam itu istri saya menemani perjalanan ke stasiun di tengah rintik hujan, berdua saja. Anak-anak di rumah bersama embahnya. Setelah parkir, karena melihat jadwal kereta masih 30 menitan lagi kata istri, “Mas, kita di sini dulu aja. Pacaran dulu”. Halah. Jawab saya sekenanya. Ah, cinta memang indah. Saya jadi teringat salah satu syiar untuk menghidupkan cinta antara suami-istri adalah dengan berpergian/berekreasi berdua saja, tidak menyertakan anak-anak.

Benar. Saya sangat percaya, cinta itu bisa menumbuhkan kekuatan jiwa. Asal kita bisa memaknai cinta itu dengan sewajarnya. Asal kita bisa menempatkannya pada porsinya. Bagi seorang mukmin, ada cinta yang lebih hakiki. Yaitu cinta kepada Alloh dan Rasul-Nya. Kemudian cinta kepada dakwah dan jihad fi sabilillah.

Untuk lebih mengobati kegundahan saya, jari-jari saya segera mengetik sebuah sebuah pesan singkat kepada seorang sahabat “… Aduhai, laki-laki memang ditakdirkan rapuh, jika tanpa wanita. Cinta mampu membuat seseorang menjadi kuat, tapi di sisi lain mampu pula membuatnya begitu rapuh.”

Karena itu balasnya :


Istri bisa menguatkan komitmen dakwah
sehingga kita sanggup berjauhan untuk waktu yang lama.
Bukan karena tidak adanya rasa sayang,
tapi karena kuatnya komitmen dakwah ilaLlah.
Sebaliknya,
ia bisa membuat jiwa kita rapuh !


Semoga kita bisa memaknai cinta dengan sewajarnya. Semoga kita bisa menempatkan cinta kita pada porsi yang dikendaki Alloh dan Rasul-Nya. Karena bagaimanapun, fitrah kita akan mengatakan, kita akan rela melakukan apapun juga asal itu untuk yang kita cintai.




NB :
Lagi bingung mau kasih tulisan apa
Karena ini yang lagi berputar di benak saya
Jadilah ini yang tertuang pada hari ini
Semoga bermanfaat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar