Jumat, 12 Desember 2008

Apakah Anda Orang Yang Romantis?

Apakah Anda Orang Yang Romantis?

Hari itu adalah hari raya kurban. Seperti di masjid-masjid pada umumnya, masjid di kampung kami pun menyembelih hewan kurban. Alhamdulillah, tahun ini (1429 H) masjid ini bisa menyembelih dua ekor sapi dan 2 ekor kambing. Walaupun sempat butuh extra effort untuk menggenapkan menjadi 2 ekor sapi, karena hingga menjelang 2 pekan hari raya idul kurban untuk kelompok sapi baru mendapatkan 12 nama shahibul kurban, akhirnya atas usaha salah seorang panitia bisa digenapkan menjadi 14 nama.

Ini tadi adalah sekilas tentang idul adha di masjid saya di kampung. Tapi saya tidak sedang ingin menceritakan keutamaan kurban ataupun hiruk pikuknya penyembelihan hewan kurban. Ada sebuah fragmen singkat yang ingin saya angkat di cerita saya kalo ini.

Begini ceritanya. (Ehm, tolong disimak ya :D). Setelah semua hewan kurban disembelih dan dikuliti serta ditimbang perolehan dagingnya, tibalah saatnya membaginya dalam paket-paket plastik untuk didistibusikan kepada jama’ah di sekitar masjid kami. Ada yang bertugas memasukkan ke dalam kantong-kantong plastik, ada yang bertugas menimbang, dan ada yang bertugas memotong-motong daging menjadi potongan-potongan kecil agar mudah untuk membaginya.

Di sebuah pojok sempit tempat kami semua mengambil satu peran dari tugas-tugas tadi, saya dan istri berduet, memotong-motong daging menjadi potongan-potongan kecil. Saya yang memegang daging, sementara istri yang memotongnya dengan pisau. Sambil sesekali ngobrol dan berbisik ringan. Sebuah kejadian yang sederhana bukan? Tapi dari awal memang saya menikmatinya.

Kami semua berbaur. Di sekeliling onggokan daging sapi dan kambing kurang lebih 200an kilogram itu, bapak-bapak dan ibu-ibu mengambil peran. Sebagian besar ibu-ibu memang. Di satu sisi mengelompok ibu-ibu mengiris-iris dan memotong daging, di sisi lain beberapa bapak-bapak memisahkan daging dari tulangnya, atau memotong-motong tulang dalam potongan-potongan kecil.

Beberapa saat kemudian, seorang ibu, beliau adalah tetangga seberang rumah saya, berteriak keras sambil berpura-pura pegang kamera, “Wah, yang di pojok itu harusnya di foto nih. Dari tadi saya lihat berdua terus. Romantis tenan.”

Saya dan istri hanya bisa tersenyum. “Biasa saja kok, bu” Jawab saya sekenanya.

“Weh, itu sudah sejak dari tadi malam je. Jam 12 malam tadi pas kami masih takbiran di sini, berduaan naik sepeda kemari. Ndemenakne tenan je.” Tambah Pak Sambas, suami dari ibu tadi, meledek. Suasana makin hangat.

“Iya lho, saya dari tadi juga mengamati. Saya Cuma mbatin, Bu Agus sama Pak Keri ini kok romantis banget.” Seorang ibu yang lain ikut berkomentar. Seorang ibu yang sebenarnya sudah cukup sepuh juga, kira-kira di atas 45 tahun umurnya.

Yah, kami hanya bisa tersenyum-senyum. Bagi kami, apa yang kami lakukan ini sebenarnya biasa-biasa saja. Sangat wajar. Dekat, iya. Bahkan kami pun tak menampilkan kemesraan. Ini belum demonstratif, halah. Maklum, saat jalan berduaan di kampung ini, saya suka menggandeng atau merangkul pundak istri saya. Ini baru demonstratif. Makanya istri kadang sering menolaknya, ”Sssttt, malu. Ini di kampung.”

Bu Beni, seseorang yang pernah menemani kami saat-saat kami belum mendapatkan khadimat dulu, mendekat ke tempat kami. ”Duh, Bu Agus ini dari tadi deketan terus ama Pak Keri. Mesra sekali saya perhatikan dari tadi.”

”Ah, bilang saja pengin. Nanti pulang minta ama Mas Beni.” Kata Bu Panggih menggoda. Riuh. Heboh. Itu yang saya tangkap dari komentar-komentar ibu-ibu tadi. Ada sesuatu yang ’luar biasa’ bagi mereka yang siang itu mereka lihat, walau itu bagi saya dan istri bahkan ’hanya’ suatu kebiasaan yang sungguh-sungguh sangat biasa.

Kawan, saya hidup di tengah kampung. Sebahagian besar penduduk di sini adalah bertani, sambil memelihara berternak. Beberapa memang berprofesi sebagai guru. Tapi sungguh, nuansa hubungan suami-istri di kampung memang seringkali terkadang monoton. Itu setidaknya pengamatan saya. Mungkin salah satunya masih kuatnya feodalisme dan primordialisme, di mana kedudukan suami sungguh-sungguh harus selalu di atas istri, sehingga mengharuskan suami menjaga wibawa di hadapan suami. Demikian pula istri, tidak berani mengekspresikan keinginan-keinginannya di hadapan suami.

Saya ingat ketika malam takbir sebelumnya, sebut saja Mbah War putri, menanyakan kepada suaminya membawa korek api atau tidak, karena dibutuhkan untuk menyalakan api di tungku depan masjid. Ya, ibu-ibu di depan masjid malam itu ada yang bertugas memasak air, merebus kacang dan menggoreng camilan buat peserta takbiran. Mbah kakung menyerahkan korek api tadi dengan dilempar, tanpa ekspresi. Ternyata lemparannya membentur hijab setinggi 60cm. Tidak sampai di hadapan mbah putri yang berdiri di seberang hijab. Sambil beringsut dengan agak kesal, dipungutnya korek tadi. Mbah putri sejatinya ada di hadapannya dengan tangan menengadah. Tapi oleh mbah kakung, korek tadi ternyata tetap dilemparkannya. Korek jatuh di hadapan mbah putri yang kemudian bergegas memungutnya.

Kawan, apakah menurutmu itu hal biasa? Tenanglah, bagi warga di sini, hal seperti itu mungkin jamak. Sangat biasa. Bagi pasangan suami istri di kampung kami ini, kejadian seperti ini tidak berarti apa-apa. Tapi entah bagi saya pribadi, ada sesuatu yang ‘luar biasa’. Aneh. Kurang nyaman. Blas tidak romantis. Kenapakah tidak bisa dengan cara yang lebih nyaman di hati? Begitu kalo saya berpikir.

Saya ingat anak terkecil saya (5th), suka berkomentar jika melihat kami berduaan ngobrol, “Uuhh, abi ama ummi ini sukanya pacaran.” Awalnya saya agak kaget dengan komentar anak kami ini.

“Pacaran itu apa tho dek?” tanya saya.

“Lha itu, suka ngobrol berdua aja.” Jawabnya singkat.

Kawan, pelajaran yang saya dapatkan dari hal-hal sederhana ini adalah bahwa sebenarnya untuk menjadi romantis itu mudah dan murah. Sederhana. Pun tidak neko-neko. Cukup engkau berikan perhatian terhadap istri/suami-mu, luangkan dengan ngobrol atau jalan kaki berdua sambil ke masjid, atau berboncengan sepeda ke warung, itu sudah romantis. Tidak perlu pake bunga. Tidak perlu berbuih-buih dengan ucapan-ucapan yang puistis seperti di sinetron-sinetron.

Mudah bukan? Jadi, engkau siap jadi pasangan yang romantis sekarang, bukan?



Catatan :
Romantis : bersifat seperti dalam cerita roman (percintaan), bersifat mesra, mengasyikkan.

2 komentar:

  1. kayaknya ini salah satu penyakit menular ya mas?

    BalasHapus
  2. masker : kira-kira ini penyakit jiwa nomor berapa mas? heheheheh....

    BalasHapus