Senin, 15 Desember 2008

Keluarlah dari Rutinitas, Sejenak Saja

Kadang kita hanya perlu keluar sejenak dari rutinitas kita. Meski hanya sesaat. Sesaat saja. Agar bunga-bunga yang lama tersemai di hati kita kembali merona. Istrimu, anakmu, adalah bagian kepingan terindah dalam hatimu. Mereka semua menuntut kehadiran hatimu seutuhnya untuk mereka, meski kamu kadang hanya bisa memberinya sesaat.

Jenak-jenak langkah yang terus tertapak, seringkali membuat hati menjadi jenuh. Kebal rasa. Semua menjadi seakan biasa. Semua menjadi seakan hambar. Tidak ada yang istimewa lagi. Jika demikian, maka segera berhentilah sejenak. Engkau perlu menepi sejenak. Untuk sesaat kembali mengeja langkah-langkah yang telah terlewati. Nafas kita perlu diperbaharui, agar langkah kita kembali segar.

Apakah cukup menepi sejenak? Tidak. Sekali lagi perbaharui nafasmu. Nafas hidupmu. Nafas cintamu. Seperti siang yang ketika beranjak sore menampilkan panorama merah saganya. Selepas mentari ke peraduannya di malam hari maka keluarlah parade bermilyar bintang dengan dikomandoi sang bulan. Hingga kembali semburat merah mewarnai hadirnya sang siang di pagi hari itu. Terus begitu. Berselang-seling. Karena hidup ini adalah perputaran.

Meluangkan sekedar berjalan-jalan bersama di pagi hari yang indah, menikmati sejuknya panorama pedesaan, atau hanya sekedar berkumpul bersama di ruang keluarga sambil menikmati teh bersama, akan membuat nafas hidupmu menjadi segar kembali. Dulu saya suka jika tiap akhir pekan mengajak ketiga anak saya berjalan-jalan menyelusuri desa-desa. Kami menyebutnya : petualangan. Jika melewati jalan kecil dan penuh belukar, atau di samping sebuah sungai yang panjang, atau sekedar melewati sebuah jembatan yang tinggi, membuat kami semua bersorak gembira.

Keluargamu adalah permata hatimu. Sudah semestinya tempat teristimewa di hatimu engkau berikan kepada mereka. Saling mengisi, saling memberi, saling memahami, saling menghargai, saling menerima, semestinya menjadi bagian dari semangat yang tersemai di sana. Tapi ingatlah, jangan menunggu engkau diberi, jangan menuntut engkau dipahami lebih dulu. Berusahalah untuk menjadi pihak pertama yang memberi, memahami, dan menghargai. Maka akan kita dapatkan lebih.

Menjadi pahlawan bagi keluarga mungkin terlalu heroik bagi saya. Cukup merasakan bahwa mereka membutuhkan dan mereka merasakan keberartian, sudah merupakan anugerah yang terindah. Masih banyak celah yang harus saya benahi. Masih banyak tanya yang harus saya jawab agar saya menjadi berarti bagi mereka. Apapun, mereka adalah tanggung jawab dan amanah yang harus dijaga. Engkau adalah nakhoda bagi mereka, maka selamatkan bahteramu meski engkau harus mengorbankan jiwamu. Begitu nasehat itu berputar di kepala saya.

Begitulah kelaziman cinta itu berbicara. Karena ia pun ada nafas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar