Senin, 22 Desember 2008

SKOLIOSIS : Aku Tidak Bisa Rukuk !

Waktu itu, kakak iparku hendak melangsungkan pernikahan. Tahun 2003. Aku, istriku yang sedang hamil anak kami ketiga, dan kedua anakku pulang ke Semarang, rumah mertuaku. Kakak iparku –Mas Sugeng- menikah dengan gadis satu kampung. Kisah cinta mereka heroik. Dibumbui ketidaksetujuan ibuku, ibu mertuaku. Bapak sendiri tidak begitu mempermasalahkan. Hanya akhirnya mereka memang harus mengalah dengan kekuatan cinta anaknya. Lebih tepatnya adalah, kenekadan anak laki-laki sulungnya itu.

Pagi itu, aku berinisiatif mengisi bak mandi kami dengan menimba dari air sumur. Manual. Mesin pompa kami sudah rusak, belum sempat untuk diperbaiki. Aktifitas ini biasa aku lakukan waktu SMA dulu. Hampir tiap pagi saya menimba setidaknya 20 ember untuk memenuhi bak kamar mandiku. Sampai luber. Aku memang selalu menghitungnya. Agar aku tahu bahwa aku telah menimba setidaknya 15 ember, maka beberapa ember lagi luberlah bak kamar mandiku.

Pagi itu tidak kurang telah 30 ember air aku timba dari sumur itu. Tapi belum penuh. Volume ember di rumah mertuaku ini memang lebih kecil, sehingga untuk ukuran bak kamar mandi yang sebenarnya hampir sama dengan bak kamar mandi di rumahku dulu, butuh lebih dari 30 ember. Sampai kemudian ibuku, ibu mertuaku, menggantikanku untuk memenuhi bak kamar mandi kami.

Awalnya biasa, tidak ada keluhan dari dalam tubuhku. Hanya kemudian selepas aktifitas seharian hari itu, ketika aku melaksanakan sholat maghrib aku merasakan ada yang salah dalam tubuhku. Aku tidak bisa melakukan gerakan rukuk. Tiap kali punggungku dipaksa untuk membungkuk rukuk, baru gerakan awal saja mendadak tulang-tulang punggungku terasa begitu sakit. Ngilu tak terperikan. Semua gerakan yang melibatkan punggung, tak bisa lagi kulakukan karena ia akan selalu mengakibatkan satu hal yang selalu sama, sakit. Berjalan pun harus tertatih. Duduk berdiri harus perlahan, sambil memegangi pinggang. Persis seperti aki-aki yang telah genap berumur 99 tahun. Renta.

Sekembaliku dan keluargaku ke Jogja, derita itu tetap menemaniku. Walau sedikit berkurang, namun aku tetap tidak sanggup untuk melakukan gerakan rukuk dalam sholat-sholatku. Hanya satu pikiranku : ada yang salah di tulang punggungku. Persisnya, aku tidak tahu.

Aku mengadu kepada seorang sahabatku, seorang dokter yang sedang mengambil spesialis bedah di RS Dr Sardjito. Namanya dr. Agus. Setelah berjanji melalui pesan singkat, kami bertemu selepas sholat jumat di Masjid Mardhiyah –masjid legendaris di kampus UGM yang terletak di selatan RS Dr Sardjito.

”Kenapa? Ada apa? Apa keluhannya?” pertanyaan khas seorang dokter.

Di ruang utama masjid itu, mulai aku ceritakan asal muasal rasa sakit di punggungku itu. Hingga akhirnya dia memintaku, ”Coba berbalik sebentar”. Aku berbalik, duduk membelakanginya. Dari atas bajuku, tangannya mulai meraba tulang punggungku dari mulai tengkuk, terus merambat ke bawah hingga mendekati tulang ekorku.

Terhenyak. ”lho lho lho, kok begini. Ckk.. ckk.. ckk..” seakan tak percaya dengan apa yang baru dirabanya, diulanginya lagi meraba tulang punggungku dari atas ke bawah, kembali lagi ke atas. Sambil terus bergumam. ”Bengkoknya nemen gini, pak”

”Wah, Pak. Sudah lama antum merasakan tulang antum bengkok ini?”tanyanya.

Aku ceritakan bahwa sebenarnya punggungku ini telah aku rasakan bengkok sejak menginjak SMA dulu! Ya, sejak tahun 1991. 12 tahun yang lalu. Tapi bagiku selama ini, itu hanyalah kelainan kecil yang mungkin diakibatkan posisi belajarku yang salah. Tidak lebih dari itu.

”Harus di rontgen, akh. Ayuk, kita ke Sardjito. Kita temui dr. Dayat untuk mengambil gambar tulang punggung antum.”

Berdua kami bergegas menemui dr. Dayat di bagian rontgen. Aku lihat dr. Agus sempat beberapa saat bicara dengan dr. Dayat. Serius. Sambil sesekali mereka berdua melihat ke arahku yang menunggu di luar, di ruang tunggu. Dr. Agus kemudian membuat semacam rekomendasi, sebagai pengantar untuk dilakukan foto rontgen punggungku.

Setelah menyelesaikan masalah administrasi sebentar, aku kemudian diantar ke ruang foto rontgen. ”Besok setelah mengambil hasil fotonya, kita ketemu kembali di Masjid Mardhiyah. Ba’da sholat dhuhur” katanya. Aku iyakan sambil melangkahkan kembali kakiku ke pelataran parkir depan Masjid Mardhiyah. Pulang ke kantor.

***

(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar