Jumat, 31 Oktober 2008

Meretas Dakwah Komunitas

Dulu ketika memutuskan untuk membangun sebuah rumah dan hidup di tengah sebuah kampung, ada kesadaran akan konsekuensi pilihan ini. Bahwa menghadapi masyarakat yang majemuk dengan tingkat pendidikan dan ekonomi yang kadang njomplang, tentu dibutuhkan kesabaran yang lebih.

Di kampung, segala sesuatu sering kali diukur dari sisi kontribusi kita di sana. Di kegiatan gotong royong jika kita tidak pernah muncul maka sangat mungkin orang akan membicarakan kita. Di rapat-rapat RT jika jarang kelihatan tentu akan membuat orang memandang kita sebelah mata. Unggah-ungguh dan kesopanan masih di junjung tinggi, kepada yang lebih tua jika tidak bisa menempatkan diri bisa-bisa kita akan dikucilkan di sana.

Tentu ini sangat kontras dengan kondisi jika kita tinggal di perumahan yang memang mendukung gaya hidup individualis, jika kita tidak mewaspadainya. Kesibukan, tingkat pendidikan maupun ekonomi yang biasanya merata membuat satu sama lain sering jarang berinteraksi. Sikap cuek dengan sekitar, sering kali menjadi ciri khas kehidupan di perumahan.

Sekali lagi ini hanya masalah pilihan. Masalah selera. Bagi seorang kader dakwah, di lingkungan manapun yang ia pilih maka begitu dia memutuskan tinggal di lingkungan itu, maka saat itu pula misi dakwah di lingkungan itu juga mulai berjalan. Tidak peduli dia memutuskan tinggal di kampung atau pun perumahan. Kondisi apa pun yang mungkin menghalangi, harus siap dihadapi dan ditaklukkan.

Alhamdulillah saya terlahir hanyalah sebagai orang kampung, juga dengan selera kampung. Maka ketika memimpikan untuk memulai merancang sebuah basis dakwah bagi keluarga saya, saya lebih mantab untuk memulainya di sebuah kampung yang cukup jauh dari perkotaan. Ditambah dengan pengalaman lingkungan perkotaan yang kurang baik dari keluarga istri saya, makin menambah semangat itu.

Kami mengawali semua dari nol. Rumah sederhana itu kami bangun sendiri bersama ayah saya dibantu beberapa tetangga kami. Kami hanyalah pendatang, tidak ada sanak keluarga disana. Tidak ada yang kami kenal di sana kecuali pemilik tanah yang menjual tanah itu kepada kami. Dia seorang kader yang kini menjadi salah satu staf deputi di mempora, beberapa saat setelah kami menempati rumah kami. Praktis kemudian dia pindah dari kampung kami setelah itu. Bahkan mungkin kami di kampung ini pun masih dianggap sebagai anak kemaren sore. Sebuah tantangan.

Selama 4 tahun berinteraksi dan mencoba untuk melakukan penetrasi dakwah dan tarbiyah di sana, ada beberapa pengalaman yang semoga bisa saya bagi di sini. Sebagaimana dulu ketika para nabi dan rasul berdakwah di kaumnya, digambarkan dalam Al Qur’an bahwa sering kali (atau bahkan selalu) yang mereka hadapi dan paling gencar penentangannya kepada dakwah adalah para pemuka kaum. Dalam bahasa Al Qur’an disebut al-mala’.

Maka saya memandang, ketika kita mengusung dakwah di sebuah komunitas - apa pun itu - maka adalah sebuah keniscayaan kita akan berhadapan dengan yang namanya al-mala’ ini. Ciri khas mereka, mereka berpengaruh di masyarakat itu. Biasanya mereka mapan secara ekonomi dan tidak jarang juga pandai. Punya status sosial tinggi. Pendapat mereka hampir selalu diiyakan oleh masyarakat. Apalagi di kampung yang tingkat primordialismenya masih kental.

Dan inilah dakwah. Kita akan bersinggungan dengan Pak RT, Pak RW, Pak Dukuh, Pak Kaum, Ketua Tahlilan, dan jabatan-jabatan informal lainnya. Arus dakwah ini seringkali harus bersinggungan dengan mainstream pakem yang berlaku di masyarakat itu. Sering kali melawan arus utama. Siap tidak siap, kita harus menunjukkan prinsip-prinsip yang kita yakini kebenarannya itu. Dan kadang itu akan berbenturan dengan keyakinan-keyakinan di sana.

Adalah kewajiban kita untuk mendakwahkan semua itu. Dan seni dakwah sya’biyah di sinilah menjadi hal yang harus selalu kita gali dan mainkan. Tidak ada yang baku di sini, karena tiap komunitas tentu membutuhkan pendekatan yang khusus. Boleh jadi satu pendekatan cocok dengan gaya hidup orang kampung, tapi di sisi lain dia tidak pas untuk gaya hidup di komplek perkotaan.

Yang perlu kita perjuangkan pertama kali adalah akseptabilitas kita di masyarakat. Ya, penerimaan mereka terhadap kita. Maka upaya yang harus kita lakukan adalah mendekati mereka, merangkulnya, dan membuat mereka percaya dengan dakwah ini. Bukan malah sebaliknya karena sikap yang kita salah, alih-alih membuat mereka dekat dengan dakwah ini, malah mereka akan lari dan alergi dengan dakwah.

Ada setidaknya 3 (tiga) hal yang harus kita bangun dalam diri kita agar akseptabilitas ini dapat kita wujudkan :

1. Integritas
Sungguh faktor integritas ini sangat mempengaruhi penerimaan masyarakat kepada kita. Rasulullah bahkan sebelum beliau diangkat menjadi rasul, telah dikenal dengan gelar al-amin nya. Tentu kita ingat dengan kemelut yang terjadi saat peletakan hajar aswad ketika renovasi ka’bah. Hampir-hampir terjadi pertumpahan darah. Maka ketika Rasulullah memberikan penyelesaiannya, semua menerima dengan lapang dada.

Memang membangun intregitas bukan perkara yang mudah. Butuh banyak amal dan kerja nyata yang harus dilakukan. Selalu jujur. Dapat dipercaya. Senantiasa membantu kepada yang membutuhkan pertolongan. Ringan tangan. Tidak mengingkari janji. Selalu berpartisipasi dalam berbagai kegiatan. Perhatian dan peduli kepada tetangga. Ikut memakmurkan masjid/mushola. Ini hanya sebagian contoh untuk membangun intregitas kita.

2. Kapabilitas
Masyarakat akan menghargai jika kita mempunyai kemampuan-kemampuan tertentu yang (mungkin) dibutuhkan masyarakat. Selalu asah kemampuan yang kita punyai. Jangan pernah alergi untuk mencoba mengambil sebuah peran yang akan mengasah kemampuan kita.

Di kampung saya, orang dalam acara-acara resmi biasa memakai bahasa jawa halus. Saya sendiri amat kesulitan dengan bahasa ini walau saya orang kampung dan jawa tulen. Karenanya, dalam kultum atau khutbah jumat saya mencoba untuk membiasakan dengan bahasa jawa. Interaksi dengan masyarakat juga sebisa mungkin memakai bahasa jawa halus. Tapi saya belum berani memakainya dalam forum terbuka dan umum. Sampai akhirnya, pada acara syawalan RW yang dimotori ibu-ibu PKK kemaren ada seorang pengurus RW yang mendatangi saya meminta saya menjadi MC. Prinsip saya, peran apapun akan saya coba selagi itu untuk meningkatkan kapabilitas saya. Walau tetap saja masih juga grothal-grathul. Alhamdulillah. “Matur nuwun nggih pak, sudah dibantu” Kata seorang ibu pengurus PKK waktu itu.

Burn yourself. Begitu judul salah satu buku dari Ustadz Satria Hadi Lubis. Saya memang belum pernah membaca isinya. Tapi setidaknya semangatnya sudah saya dapatkan.

3. Konsistensi
Selalu dibutuhkan nafas panjang dalam setiap etape dakwah ini. Karena dakwah tidak pernah selesai hanya dalam satu atau dua generasi. Karenanya agar dakwah ini menghunjam kuat di masyarakat, dibutuhkan konsistensi.

Konsisten dalam segala aspek. Ucapan. Perilaku. Gerak dakwah. Dalam segala kondisi dan waktu. Tidak musiman. Tidak sesaat. Pun tidak hanya di waktu-waktu tertentu maupun untuk orang-orang tertentu.

Maka setelah kita mengupayakan ketiga hal di atas, dimana pun kita memutuskan untuk meretas sebuah komunitas dan basis dakwah bagi keluarga kita, maka yakinkan kita bahwa kita memang mampu menjadi agen dakwah di sana. Berusaha untuk berguna bagi orang lain. Sebagaimana ucapan Sayyid Qutb rahimahullah : “Sesungguhnya orang yang hidup untuk dirinya sendiri, ia akan hidup kecil dan mati sebagai orang kecil. Sedangkan orang yang hidup untuk umatnya, ia akan hidup mulia dan besar dan tidak akan pernah mati.”

Allahu a’lam bish-shawab.

Masker/28102008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar