Jumat, 10 Oktober 2008

Sapa Laskar Angin kepada Laskar Senja

Ini adalah tulisan salah satu rekan kami, entah siapa. Menamakan diri sebagai laskar angin. Dikirimkan kepada para sahabatnya yang menamakan diri laskar senja.

Assalamu' alaikum

Rekan-rekan Laskar Pelangi dan rekan-rekan senasib....

Beberapa minggu yang lalu saya menerima email dari rekan-rekan yang menyebut dirinya sebagai Laskar Pelangi, Laskar Senja atau PJKA (Pulang Jumat kembali Ahad). Dalam emailnya, para laskar ini menyampaikan rintihan hati (kalo ndak mau disebut keluh kesah). Rekan-rekan ini pun menyebut dirinya sebagai korban modernisasi Direktorat Jenderal Pajak (mungkin sangking kesalnya atau saking beratnya mereka menjalani roda kehidupan mereka setelah mereka dimutasi sebagai AR di Jakarta , padahal tempat tinggal di Jogya). Mereka pun tiap Jum'at (di senja hari) hari berangkat menemui istri dan anak-anak mereka (yang masih kecil) untuk kembali mendapatkan butiran semangat untuk kembali bekerja di seminggu kedepan, bahkan semangat untuk tetap bergabung dengan DJP, karena ada diantara mereka yang sempat berpikir untuk keluar dari DJP. Hari ahad (di senja pula) mereka pun kembali ke tempat kerja. Oleh karena itu pula mungkin mereka menyebut dirinya sebagai laskar senja. Tapi apakah setelah menemui anak dan istri mereka lantas mereka menemukan semangat untuk bekerja? Setahu saya setelah pulang, berat hati ini untuk melangkahkan kaki ini untuk kembali ke tempat kerja. Bahkan kian lama kita jalani rutinitas pulang pergi itu, kian lama kita rasakan kian bertambah capek ya capek fisik dan capek pikiran kita).

Rekan-rekan , saya pun mengalami hal serupa. Kalo rekan-rekan-rekan laskar pelangi bisa pulang tiap minggu, kami kadang harus satu bulan baru pulang (ada temen saya yang lebih dari satu bulan). Oleh karena dari segi jarak kami lebih jauh dan dari segi biaya lebih banyak. Perjalananpun tidak bisa kami tempuh melalui darat dan harus perjalanan udara. Mungkin kalo rekan-rekan menyebut sebagai laskar pelangi, ijinkan kami menyebut kami sebagai laskar angin atau laskar awan (asal jangan disebut laskar topan atau badai ) karena itu merusak. Karena kami tidak ingin merusak semangat DJP yang ingin modern, bahkan saya sangat bersyukur akhirnya DJP bisa memasuki era ini. Hanya kami inginkan bahwa perubahan juga diterapkan pada sistem mutasi kita. Harapan kami agar semua juga merasakan kepedihan yang kita alami. Dengan gaji yang sama, sangat tidak adil apabila kita yang jauh harus berada dikejauhan dan bahkan semakin jauh semakin tidak dilihat. Kita ini juga manusia yang juga punya keinginan hidup layaknya mereka sekarang yang tempat kerjanya dekat dengan rumah. Dengan gaji modern seperti sekarang mereka bisa mengurus pendidikan anak dengan baik, bahkan mereka kemudian bisa men-cicil (bukan mecicil dlm bhs jawa) rumah bagi yang belum punya rumah, merenovasi rumah yang telah mereka beli sekarang, atau bahkan dari fordis yang ada di intranet kita, banyak diantara mereka yang telah memikirkan investasi. Kami pun juga punya planing seperti itu, tapi kenyataannya tidak bisa. Bisa saving sedikit saja untuk sekedar berjaga-jaga apabila keluarga kami sewaktu-waktu sakit, harus kami lakukan dengan rit-ngirit. Untuk ini harus betul-betul kami lakukan. Karena saya tidak ingin belas kasihan apalagi hanya komentar "kasihan" dari temen2 kita bila mendengar kesulitan kita.

Rekan-rekan Laskar Pelangi, sebenarnya sejak kami dimutasi ke luar jawa , waktu itupun kami ingin mengungkapkan segala macam unek2 kami dan berbagai kesulitan kami seperti rekan-rekan. Tapi kami selalu menahannya karena kami pikir kalo saya mengunkapkan kondisi kita, paling yang kita terima hanya komentar "kasihan" atau kalo masih punya nurani mereka hanya bilang "sabar'. Hari pun kami lalui dengan suatu harapan akan ada perbaikan dalam sistem mutasi kita. Untuk membesarkan harapan kami maka kami pun berpikiran positif. Ya mungkin ini suatu penghargaan bagi kita yang lulus test modern , sehingga harus merasakan modernisasi duluan. Karena saya yakin kami yang ikut test betul-betul punya niat untuk modern. Banyak diantara temen-temen pada waktu itu tidak mau ikut test. Ndak usaha ditutup-tutupi lagi, pertimbangan utama mereka adalah apakah gaji setelah modern nanti melebihi dari pendapatan mereka sekarang (terutama mereka yang menguasai seksi teknis). Jelas mereka tidak ingin modern sama sekali, dan kalo sekarang mereka modern, bisakah mereka memegang kode etik? No comment. Saya sering bicara dengan mereka ini. Saya tanya kepada mereka apabila sudah modern, apakah sampean masih masih menerima juga uang dari wajib pajak. Jawabnya; yang penting saya kan ndak minta. Tapi kenyataanya mereka pun akhirnya merasakan modernisasi dalam hal gaji, dengan tempat kerja ya di situ-situ saja (dekat rumah atau bahkan tetap di KPP asal). Inikah Modernisasi yang dibanggakan Direktorat Jenderal Pajak?.

Sekali lagi, unek2 ini sudah lama kami pendam, ya, lama sekali, saat saya di awal Maret 2007 saya di mutasi di luar jawa (bukan promosi tapi di mutasi jadi AR di luar jawa). Kita pun yang dipindah di luar jawa, meski dengan berat kami terima. Ya mungkin setelah modern ini mutasi AR harus nasional. Ok kami terima. Tapi kemudian modernisasi di DJP terus bergulir dengan modernisasi di KPP Pratama di Jawa diikuti dengan penempatan para AR-nya yang notabene tidak ikut test (atau tidak mau modern) dengan tempat di situ-situ aja , bahkan tidak pindah kantor sama sekali.. Inilah biang yang membuat kami merasa kecewa dengan modernisasi di DJP. Setelah itu penempatan para fungsional yang juga 98% disitu-situ juga. Apakah sistem mutasi yang dipakai bagian kepegawai DJP masih seperti sebelum modern? Ndak ada pola yang jelas, sistem up line atau down line (emang DJP perusahaan multi level). Saya ndak berpikir buruk tapi jangan biarkankan orang berpikir begitu dengan membuat sistem yang tidak jelas.

Saya tidak mau asal ngritik, tapi ndak ada penyelesaian. Agar modernisasi bisa dirasakan adil bagi semua pegawai, maka sistem mutasi harus jelas. Bikin pola yang baku. Jadi siapapun yang ada di kepegawaian kalo tidak melaksanakan aturan itu harus dikenakan sanksi, dan bagi pegawai yang seharusnya kena mutasi tapi tidak dimutasi segera dimutasi, pegawai yang yang seharusnya tidak kena mutasi dan kemudian dimutasi harus dikembalikan. Bagi pegawi yang seharusnya mutasi dan dimutasi namun tidak sesuai dengan pola, harus dikembalikan. Lalu polanyanya gimana? Terserah yang penting baku. Agar aturan lebih mengikat seharusnya aturan tsb minimal dalam bentuk Per Men Keu. Bisa saja dibuat per jabatan, pelaksana, AR, eselon IV eselon III atau eselon II. Misal untuk pelaksana hanya regional ya ndak apa2 tapi tetap ada polanya. Kalo regional tsb dalam arti satu kanwil maka mutasi harus meliputi kota2 di wilayah kanwl ybs. Untuk kanwil2 yang ada di DKI bisa saja regional tsb ditentukan tersendiri meliputi DKI , Propinsi Banten, dan Jawa Barat. Jangka waktu maksimal menduduki suatu posisi/kota juga harus ditentukan, misal maksimal 2 th. Jadi ndak ada lagi orang sampe tua disitu-situ aja. Apalagi sekarang gajinya gede.

Untuk AR bisa aturan itu dibuat menyesuaikan, kalo harus nasional, maka bisa saja ditentukan 2 tahun diluar pulau , 2 tahun di daerah domisili. Begitu juga untuk eselon IV. Untuk promosi bisa dibuat aturan tersendiri. Untuk eselon III dan II juga bisa dibuat aturan tersendiri. Yang penting harus ada aturan jelas dan aturan harus ditaati kalo tidak yang yang membuat mutasi dikenakan sanksi dan yang dimutasi harus dikemblikan sesuai aturannya. Jadi ndak ada lagi pegawai dengan tempat kerja jauh dari domisili (di luar pulau) lebih dari 3 th. Otomatis begitu 2 th kembali ke domisili dan begitu seterusnya. Ndak ada lagi pegawai yang mengajukan surat permohonan pindah tempat kerja di daerah domisili (yang menurut orang kepegwaian sendiri surat macam gini sekarang numpuk)

Pola aturan mutasi yang jelas tsb diatas diperlukan agar :
1. Mutasi lebih adil. Sehubungan dengan setelah modern (asumsi) gaji dimana mana sama.
2. Menghindari dari KKN. Mutasi tidak lagi memperhitungkan faktor kenal-mengenal ( up line dan down line) tidak ada patokan harga lagi (pokoknya faktor KKN juga dapat dihindari)
3. Bagi pegawai yang ada dikepegawaian juga bisa terhindar dari fitnah yang bisa menyebabkan dosa. Ingat jabatan adalah amanah termasuk sampean2 yang ada dikepegawaian. Tatkala sampean harus me-mutasi orang lain dengan dasar yang tidak obyektif (tidak menurut aturan ) sampean sudah berbuat dzolim bagi pegawai yang sampean mutasi, Bukan itu saja sampean juga sudah berbuta dzolim kepada anak dan isteri pegawai yang sampean mutasi.

Rekan-rekan laskar pelangi, untuk point yang ke-3 tsb, pada awalnya kami tidak merasa didzolimi, tapi kemudian melihat pola mutasi setelah kita (KPP Pratama) yang demikian itu, maka kamipun punya rasa seperti itu, tapi kami kita harus tetap menerima bahwa semua ini tetap atas kehendak Alloh. Namun sesuai Al Qur'an Surat Asy Syura Ayat 39-43 disebutkan bahwa :

- ayat 39 artinya : Dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan dzalim mereka membela diri
- ayat 40 artinya : Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa yang memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Alloh Sesuangguhnya Dia tidak menyukai orang2 yang dzalim
- ayat 41 artinya : Dan sesungguhnya orang2 yang membela diri sesudah teraniaya tidak ada satu dosapun atas mereka.
- ayat 42 artinya : Sesungguhnya dosa itu atas orang2 yang berbuat dzalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih.
- ayat 43 artinya : Tetapi orang yang bersabar dan memaafkan sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal2 yang diutamakan.

Dari ayat tsb kita seharusnya tidak bisa tinggal diam melihat sistem mutasi yang sudah banyak mendzolimi orang lain. Tapi kita pun juga harus memaafkan mereka agar mereka tehindar dari azab yang pedih. Masalahnya apa yang perlu dimaafkan, wong mereka tidak merasa bersalah.

1 komentar:

  1. sedikit komen untuk mutasi fungsional dari dulu sampe sekarang tetep "nasional"....

    BalasHapus