Selasa, 22 Juli 2008

Kenapa Kepercayaan itu Harus Ditumbuhkan…?

Kenapa Kepercayaan itu Harus Ditumbuhkan…?

Bulan April lalu, seorang mutarobbi alumni ekstensi teknik mesin UGM yang telah bekerja di PT LG Tangerang menyempatkan telepon ke saya. ”Bro, gimana kabarnya?” begitu sapanya. Saling bertanya kabar, dia kemudian memberitakan bahwa istri dan anaknya yang baru berusia 3 bulan masih dia tinggal di Brebes. Rencananya akan segera diboyong kembali ke Tangerang beberapa hari ke depan. Alhamdulillah.

Sekitar bulan Mei, saya lupa persisnya, salah seorang mutarobbi lain saya menelepon dari sebuah kota perbatasan jawa tengah – jawa timur, persisnya di pesisir pantai utara jawa. ”Ustadz, ada apa ini?” Tiba-tiba dia memulai dengan sebuah pertanyaan yang menyentak. Setelah berbicara panjang lebar, rupanya dia mendapat sebuah kabar dari seorang temannya di sebuah organisasi non kampus, tentang dirinya yang perlu ditabayunkan. Dan dia meminta saya untuk klarifikasi. Setelah saya tenangkan dan saya janjikan tidak ada apa-apa, nada bicaranya kembali tenang. ”Tolong ustadz, karena ini sangat berbahaya buat jama’ah. Saya di sini mendapat amanah yang cukup berat” Begitu pintanya.

Saya hanya tersenyum. Membayangkan mimik dia yang serius, bicaranya yang meledak-ledak, semangatnya yang luar biasa, saat-saat masih di halaqoh Jogja dulu.

Awal Juli, salah seorang mutarobbi yang kini kuliah ekstensi di UNPAD semester akhir, sms menanyakan kabar. Pagi harinya langsung saya telepon, yah sekedar memberitakan kepadanya bahwa saya masih mengingatnya. Setelah berbincang banyak hal, dia minta alamat email dan nomor hp cdma, agar bisa mengobrol lebih lama katanya. Esoknya dia mengabarkan bahwa dia telah mengirim email dan dia menelepon dengan nomor hp cdma baru (yang satu operator dengan dengan cdma saya), ”Tolong dibaca ya bro, saya banyak cerita di sana. Kalo bisa sih nanti saya pengin ketemu langsung saja.” katanya.

Karena saya diklat, saya meminta mutarobbi saya di sini mencetak email tersebut. Rupanya dia tidak main-main. Cukup banyak dia menulis di emailnya. Yang membuat saya terharu adalah pembukaan dia di emailnya, ”Salam silahturahmi selalu untuk guruku Ust. Sukeri, orang tuaku Pak Keri sekaligus sahabatku Brokeri dimanapun berada.” Saya hanya ingat bahwa dia adalah seorang yang flamboyan, funky, rambut agak panjang berombak, kadang memakai celana jeans yang disobek sana sini. ” That’s all bro, thanks very much for your education & dedication to me. God bless you…” ini kalimat penutup di emailnya.

Benar bahwa dia telah terputus tarbiyahnya. Tapi, rupanya dia merindukan suasana tarbiyah yang dulu kami nikmati bersama. Setidaknya berita ini, ketika saya bagikan ke mutarobbi di sini, cukup membuat hati-hati kami menjadi gerimis.

Seorang mutarobbi lain yang setelah hampir 5 tahun menunggu hadirnya anak, akhir juni kemaren permohonannya terkabul. Lahir anak pertamanya bayi laki-laki. Sehari setelah kelahiran putranya, saya mengajak teman-teman liqonya untuk berkunjung ke rumahnya. Sebuah rumah di tengah gang-gang kecil di bilangan manggarai sana. Orangnya sederhana, umurnya bahkan di atas saya dua tahun. Tapi intima’ nya bagi saya cukup mengesankan, meski dia baru gabung ke liqo 3 atau 4 bulan yang lalu. Saya teringat sms nya ketika minta ijin tidak datang liqo, “Ustadz, akhwat ana sedang tidak enak badan. Jadi ana tidak bisa datang liqo”. Intinya, istrinya sedang sakit sehingga dia minta ijin. Ah, saya tersenyum membaca sms tersebut.

Hari Ahad kemaren di sela-sela kerja bakti saya, dia menelepon. ”Pak Ustadz, saya mau konsultasi”. Setelah saya persilakan, dia minta pendapat saya terkait dengan rencana aqiqoh anaknya senin malam ini. Bagi saya ini hanya masalah teknis, tapi melihat keseriusan dan kesungguhan dia untuk minta pendapat saya, lagi-lagi ini membuat saya terharu. Bahwa sebenarnya, belum banyak yang bisa saya berikan kepada mereka sehingga sering kali saya malu kepada diri saya sendiri.

Membangun kepercayaan dan kedekatan dengan mad’u memang gampang-gampang susah. Masing-masing mempunyai karakter dan pembawaan yang berbeda dan harus disikapi dengan cara yang berbeda pula. Dan ini bagi saya adalah seni.

Saya bukan tipe orang yang bisa mengubah dan mempengaruhi orang dengan cara yang revolusioner. Bagi saya, perubahan yang pelan namun pasti dan membawa kesan yang mendalam dalam diri mad’u, lebih saya sukai dari pada perubahan dengan cara yang ”sedikit dipaksakan” karena ingin cepat terlihat perubahannya.

Bergerak dan berubahlah bersama mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar