Selasa, 01 Juli 2008

Terpautnya Dua Hati

Berikut ini adalah tulisan istri saya beberapa tahun yang lalu
Kurang lebih 10 tahun yang lalu
Lebih tepatnya beberapa lama setelah kami menikah 05/04/1998

Terpautnya Dua Hati

Namaku Ummu Jundi, umurku dua puluh empat tahun lebih, suamiku Abu Jundi, aku ingin bercerita tentang pertemuanku dengan suamiku tercinta.

Pagi yang cerah, langit berselimutkan cahya mentari yang merona, mega berarak putih. Namun keindahan itu tak terhiraukan oleh lalu lalangnya manusia-manusia yang sibuk dengan urusan masing-masing. Raung kendaraan yang mengeluarkan asap hitam menambah pikuknya kata ini. Inilah Jakarta yang menjadi ladang impian bagi berjuta-juta manusia, pun aku. Keramaian Jakarta tidak membuat perasaanku turut ramai, saat ini aku justru merasa sendiri, benar-benaaar sendiri. Aku merasa butuh seseorang yang menemaniku, menemani hari-hariku, tempatku menumpahkan segala isi hatiku. Siapakah dia? Entah, aku tak berharap selain apa yang ditetapkan oleh Rabbku.

"Kolong-kolong." Suara kondektur menghentikan lamunanku. Aku turun, berjalan menuju ke kantorku, rutinitasku, tempat aku berjuang mempertahankan idealismeku (yang kadang terdengar klasik dan berlebihan) dan tempat yang sering memenjarakanku pada kesendirian.

Ramadhan pagi ini aku lebih bersemangat dibanding pagi-pagi sebelumnya. Hari ini sebelum ke kantar aku harus menemui seniorku di sebuah masjid. Beberapa hari yang lalu beliau menitipkan pesan kepada salah seorang rekanku di kantar agar aku menemuinya untuk sesuatu urusan, penting katanya. Sejak dalam perjalanan tadi pikiraan-pikiran berkecamuk di kepalaku. Mengapa beliau memintaku menemuinya, mengapa harus aku, mengapa di masjid, ada perlu pentingkah. Jangan-jangan ..... ah, aku tak berani meneruskan, berusaha kutepiskan semua pikiran-pikiran itu ketika aku mendapati masjid yang ditetapkan. Kucari beliau, ternyata tak kujumpai, terlalu pagi mungkin. Kulirik Albaku, setengah jam lebih awal dari waktu yang dijanjikan. Sementara menunggu, kubuka Al-Qur'anku.

"Assalamu 'alaikum." Seseorang menyapaku.

"wa 'alaikum salam." Jawabku sambil kuulurkan tanganku.

"Sudah lama menunggu?" Tanya beliau. "Lumayan” Anggukku.

Kami mengobrol tentang bagaimana Ramadhan ini, tentang pekerjaan dan sampai akhirnya ...

"Gimana, masih tetap siap menikah?" Tanya beliau.

"InsyaAllah, mbak." Robbi, inikah jawaban atas apa yang berkecamuk di fikiranku, inilah awalnya.

"Ini, ada seorang abdullah yang sedang mencari pendamping. Saya berusaha menjodohkannya denganmu, fikirkan dan renungkan sebelum engkau membuat keputusan” Jelas beliau.

Kuterima sebuah amplop dari beliau. Kami berpisah di pelataran masjid. Aku meneruskan perjalanan ke kantor. Sepanjang perjalananku pikiranku terus tertuju ke amplop itu. Aku ingin segera mengetahui isinya. Sebelum aku mengetahuinya, aku telah bertekad bahwa siapapun dia, apakah dia dari kasta brahmana atau kasta sudra, apakah dia pemikir atau pekerja, apakah dia Yusuf atau Bilal, yang terpenting dia berislam dan memegang keislamannya.

Aku tak sabar menunggu sampai di rumah. Sesampai di kantor kubuka amplop itu. Robbi aku telah memutuskan untuk menerimanya. Ada beberapa hal yang membuatku sangat tertarik dengan abdullah, yakni latar belakang keluarganya dan saat ketika ia dilahirkan, nyaris mirip denganku. Robbi inilah awal dari persamaan-persamaan selanjutnya. Aku yakin dia belum mengatahui bahwa akulah yang dipilihkan untuknya, dia pasti belum mengetahui aku. Sementara hari bertambah hari, bertambah keyakinanku bahwa aku menerimanya, tidak ada ganjalan sedikitpun tentangnya. Setiap keyakinanku muncul, muncul pertanyaan apakah aku tidak bertepuk sebelah tangan, apakah dia juga menerimaku, menerima segala kekuranganku setidaknya untuk saat ini.

Kulalui sisa Ramadhan ini dengan lebih mendekatkan diri pada Robbku dengan kepasrahan total. Aku ingin keputusan ini bukan karena nafsuku, tetapi benar-bener karena kehendak Robbku. Ya Robbi, kalau dia baik bagi dinku, bagi keluargaku dan bagiku, maka dekatkanlah ia padaku, kalau tidak maka jauhkanlah ia dariku. Do'a itulah yang selalu kupanjatkan di akhir shalat-shalatku, bahkan dalam perjalanan-perjalananku aku berdzikir dengan itu.

Kepulanganku ke Semarang untuk lebaran tahun ini berbeda dengan kepulangan-kepulanganku sebelumnya. Kali ini ada suatu misi yang herus kusampaikan kepada orang tuaku meski pada diriku pun masih berkecamuk pertanyaan apakah dia juga menerimaku. Memiklikan dia membuatku berdiri di antara harapan dan kecemasan, sampai suatu hari ... "Assalamu 'alaikum. Mbak, afwan saya baru nelfon sekarang. Saya sudah di Semarang nih." Kubagikan kabar dengan beliau.

"Wah, kebetulan nih, dari dia sudah ada kabar."

"Oh, ya mbak." Harapku.

"Dia menerima engkau, mungkin dalam waktu dekat ini dia akan berkunjung ke rumahmu untuk mengenalkan diri ke orang tua. lnsyaAllah tiga hari setelah lebaran, bagaimana ?"

"Alhamdulillah, InsyaAllah saya menanti kunjungannya, mbak." Robbi, sudahkah aku mendekati apa yang aku harapkan selama ini? Apakah jodoh yang engkau janjikan telah begitu dekat padaku. Hanya Engkau tempat aku berharap. Menanti kedatangannya adalah antara harapan dan kecemasan yang lain. Akankah ia benar-benar menerimaku setelah bertemu denganku, melihat keluargaku, atau .... Robbi, berikanlah yang terbaik untukku.

Allahu Akbar ... Allahu Akbar ... Allahu Akbar ...

Takbir bergema di hari kemenangan. Kupanjatkan syukurku bahwa aku dapat melewati Ramadhan tahun ini. Robbi pertemukanlah aku dengan Ramadhan tahun depan. Aku mengevaluasi tentang hatiku selama Ramadhan ini dan satu hal yang membuatku bahagia adalah kepasrahanku. Kepasrahan tentang apakah si abdullah akan menerimaku atau memang dia bukan yang terbaik untukku. Dengan kepasrahan semua menjadi mudah bagiku. Kala harapan dan kecemasan itu muncul, aku yakin bahwa di situlah kupahami hakekat kemanusiaanku, bahwa selamanya aku butuh bersandar pada-Nya.

Lebaran membuat keluargaku menyempatkan tinggal sejenak di rumah untuk saling memaafkan sebelum kami kembali sibuk dengan urusan masing-masing. Juga lebaran membuat rumah kami diramaikan oleh tamu-tamu yang silarutahim ke rumah semenjak bapak ditunjuk sebagai sesepuh di kampung. Begitu juga dengan lebaran kali ini.

"Wah, Mbak Ummu, bagaimana kabarnya di Jakarta, kapan nih ?." Canda seorang ibu kepadaku ketika bersilaturahim ke rumah kami.

"lnsyaAllah secepatnya." Jawabku sambil berdoa pada Robbku. Meski selalu itu jawabanku setiap kali pertanyaan tersebut dilontarkan padaku. Namun kali ini pertanyaan itu begitu menyentuh lubuk hatiku.

Di kali yang lain ...

"Ummu, kapan ?" Bulek mencandaiku.

"Tunggu undangannya yang lek'" Balasku, dadaku berdegup lebih kencang.

Di hari ketika aku berpapasan dengan tetangga ...

"Ummu, bagaimana kabarnya, kapan menikah, sekaohnya katanya sudah selesai, sudah bekerja kan tinggal menyenangkan hati orang tua dengan cucu." Begitu berondong seorang ibu kepadaku.

"InsyaAllah secepatnya." Jawabku penuh harap.

Jika pertanyaan-pertanyaan mereka diutarakan dulu mungkin aku tidak melankolis seperti sekarang ini, tapi kini di saat aku berharap.

Tiga hari berlalu dari lebaran, namun gaungnya masih terasa, satu dua orang tamu masih ada yang silaturahim ke rumah. Sementara pikiranku tak juga lepas dari si abdullah, terlebih hari ini, aku menunggu kedatangannya. Untuk pertama kalinya dalam hidupku aku mengharapkan kedatangan seorang laki-laki. Pagi sekali aku sudah memikirkan apa-apa yang harus kusiapkan dan apa-apa yang akan aku utarakan kepadanya. Waktu terasa berjalan sangat lambat sampai adzan Dhuhur berkumandang. Kuambil air wudhu, aku butuh menenangkan hatiku, aku butuh mengadu. Kututup shalatku dengan do'a Ya Robbi kalau dia baik bagi dinku, bagi keluargaku dan bagiku mudakanlah jalannya menuju rumahku.

Ketika aku beranjak untuk tidur untuk mengistirahatkan perasaanku, terdengar pintu kamarku diketuk bapak.

”Ummu, ada tamu mencarimu."

Robbi, .... diakah si abdullah itu ? Hatiku berdegup makin kencang.

"Assalamu 'alaikum," sapanya.

'Wa 'alaikum salam," balasku. Untuk kali yang pertama kutatap wajahnya. Robbi, dia terlihat bersahaja. Abdullah seandainya aku diijinkan aku ingin engkau meraba dadaku untuk mengetahui betapa cepat detak jantungku menatap saratmu.

Kami ngobrol ditemani bapak, kadang-kadang Ibu dan adikku turut hadir di antara kami. Ada kecanggungan di antara kami, meski sebetulnya banyak hal yang ingin kuutarakan namun aku tak berani bahkan untuk menatap wajahnya.

Lima hari setelah perjumpaan kami yang pertama, disusul dengan perjumpaan kami berikutnya. Kali ini dia datang ditemani ayahnya, beliaukah calon mertuaku. Sejak pagi kami mempersiapkan menyambut kedatangannya.

"Bu, dia akan mengajakku pergi jauh dari ibu nantinya." Pintaku pada ibu.

"Mengapa tidak, selama dia adalah suamimu," jawab ibu melegakanku.

Kira-kira tengah hari dia datang bersama ayahnya. Kunjungannya kali ini untuk membicarakan hari pernikahan kami. Semua pembicaraan berjalan lancar. Robbi, ini adalah awal yang mudah, beginilah seterusnya, pintaku. Aku dapat merasakan semburat kebahagiaan yang terpancar dari wajah orang tuaku.

Satu setengah bulan menjelang pernikahan kumanfaatkan untuk memupuk cintaku padanya. Menurutku dalam penikahan persamaan din adalah terpenting dan cinta menempati posisi yang penting, karenanya saat-saat inilah waktu yang tepat untuk memupuknya. Selama waktu itu kami terpisahkan oleh jarak sehingga komunikasi kami lakukan melalui telfon. Aku selalu sengaja mencari-cari alasan untuk bisa mendengar suaranya. Aku merasakan kedekatanku dengannya bertambah, entah dia, kecanggunganku berangsur-angsur mencair, sampai suatu saat ...

"Aak, saya merasa berdebar-debar menjelang pernikahan kita," aduku padanya.

"Sama, Aak juga merasakannya, dan perasaan itu selalu dialami oleh calon pengantin, insyaAllah semuanya akan lebih baik." Nasehatnya menenangkan.

Hari bersejarah itu tibalah kini. Aku begitu gugup, berbagai perasaan berbaur di hatiku, ada harapan, kecemasan, kebahagiaan dan kesedihan. Ada kebahagiaan yang menyusup di antara debar jantungku ketika mendengar dia mengucapkan ikrarnya, ada kesedihan tatkala aku memohon ijin kedapa bapak agar dinikahkan dengannya. Dan kini semua pertanyaan telah terjawab.

Untuk pertama kalinya tangannya meraih tanganku, mendo'akanku. Kami saling tatap, ternyata ada sejuta kerinduan. Rindu yaang sekian lama terpendam .. Satu kecupannya di keningku tak cukup untuk menawarkan kerinduan kami, ketika dia merengkuhku ke dalam pelukannya, kami ingin mencairkan kerinduan ini.

Namaku Ummu Jundi, usiaku dua puluh lima tahun. Aku bahagia bersuamikan Abu Jundi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar