Selasa, 22 Juli 2008

Kenapa Kepercayaan itu Harus Ditumbuhkan…? (Part 2)

Kenapa Kepercayaan itu Harus Ditumbuhkan…? (Part 2)

Pagi tadi selepas sholat subuh, sengaja saya mengirim sms ke salah seorang (mantan) mutarobbi. Tidak selang beberapa lama, langsung dia telepon balik.

Dia bekerja di bagian akuntansi, sebuah perusahaan yang membuat mesin traktor di daerah Jalan Magelang. Menikah kurang lebih satu setengah tahun yang lalu. Proses menikahnya menurut saya termasuk heroik, karena ada sedikit ketidaksepakatan dalam beberapa hal teknis dengan orang tua akhwatnya. “Bro, akhwatnya minta nikah sirri dulu gimana?” lapornya saat-saat berkoordinasi dengan pihak akhwat terkait hari H pernikahan, ketika orang tua akhwat minta agar pernikahan diundur setahun lagi (jika mereka ingin orang tua mereka hadir di pernikahan itu) karena dalam tahun itu juga, kakaknya akhwat akan menikah.

Saya sarankan agar mereka mengurungkan niat untuk menikah sirri tersebut (setelah saya berkonsultasi dengan salah seorang ustadz) dan melanjutkan bernegosiasi dengan orang tuanya. Akhirnya ditemukan kata sepakat, orang tua merestui mereka segera menikah akan tetapi tidak dilaksanakan di sebuah kota di sumatera sana dan orang tua minta diwakili oleh paman akhwatnya. Beliau tidak mau hadir karena kukuh memegang tradisi adat yang beliau yakini.

“Alhamdulillah bro, berkat doanya ini istri sudah ‘isi’ kurang lebih 10 minggu.” Ucapnya tadi pagi di telepon. “Alhamdulillah, gimana keadaan istri, sehat?” tanya saya. Maka mengalirlah cerita pengalaman pertamanya menemani istri yang sedang hamil muda. Dengan setia saya dengarkan semuanya.

“Oh iya bro, pekan kemaren Bro ****** silaturahim ke rumah. Lama lho bro, ada kali 3 jam-an. Dia minta maaf setelah menikah kemaren ‘agak futur’, gak pernah datang liqo. Dia bilang kangen dengan teman-teman. Dia mengajak saya untuk bertemu dengan antum. Pekan depan pulang tidak bro?” tiba-tiba ceritanya beralih ke salah seorang teman di halaqoh kami dulu.

Ya, saya ingat. Dia adalah salah seorang dosen muda di UII. Cerdas. Kritis. Cukup idealis. Awalnya banyak bersentuhan dengan dakwah salafi. Tapi menjelang menikahi seorang kader tarbiyah, kemudian ia intens ikut tarbiyah. Menikah beberapa minggu setelah gempa hebat di Yogyakarta, dua tahun lalu. Saya masih ingat ketika datang ke walimahannya di sebuah daerah di bantul, onggokan-onggokan puing bangunan masih segar di depan mata.

Pun saat dia menempati kontrakan baru, kami langsung memakainya sebagai liqo perdananya pasca pernikahan dia. Sampai kemudian kepindahan saya ke Jakarta, sedikit demi sedikit dia mulai jarang datang liqo semenjak istrinya hamil dan melahirkan, karena ia harus bolak-balik ke rumah mertua di bantul. Setidaknya itu yang saya dengar.

”Bro ****** mau S2 ke Australia lho bro. InsyaAllah mulai bulan Pebruari nanti. Beasiswa.” Tambahnya. Alhamdulillah. Kini yang saya tunggu adalah silaturahimnya. Semoga saja ‘aset’ berharga ini bisa kembali menemukan kesejukan dalam naungan tarbiyah. Semoga saja kerinduannya akan saat-saat tarbiyah bisa kembali dirasakannya.

Tak terasa lebih dari 16 menit obrolan kami. Semburat pagi telah nampak dari sela-sela jendela kamar saya. Saatnya untuk memulai aktifitas hari ini dan menuntaskannya dengan karya-karya terbaik semampu saya.

Ashbahna ’ala fithratil islam wa kalimatil ikhlash ....

*****

Beberapa saat di kantor. Pluggghh! Bunyi nada email di outlook express ku. ” Bro aq nt tenis dl ba'da maghrib soale diajak bos kira2 nyampe jam 19.30 trus langsung ke kos antm (ane blom tau rmh ustadz )”

Maka setelah selesai satu urusan, kerjakanlah (urusan) yang lain. (Fa idza faraghta fanshab)

*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar