Jumat, 25 Juli 2008

Kenapa Kepercayaan itu Harus Ditumbuhkan…? (Terakhir)

Karena Rasa Aman itu Mahal

Yogyakarta….

Kurang lebih dua pekan yang lalu, saya mengantar istri membeli sesuatu yang sebelumnya telah saya janjikan melalui telepon, sebagai hadiah buatnya. Sengaja saya tidak membelikan langsung karena sering kali hasilnya tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya dia inginkan. Karenanya saya lebih memilih agar dia sendiri yang menentukan pilihannya.

Selesai dengan keperluan kami, bergegas kami kembali ke kendaraan. Tiba-tiba ada seorang ibu yang mendekati saya. Dengan sedikit memelas dia mengutarakan maksudnya, “Nak, bisa minta tolong dismskan ke anak saya. Tolong pesankan padanya bahwa saya telah di Jalan Magelang. Ini nomor hp anak saya.”

Entahlah. Yang pasti di kota ini, hati saya merasa tenang untuk mengiyakan permintaannya. “Oh silakan bu. Atau ibu bicara langsung saja ya dengan anak ibu. Ini saya teleponkan.” Saya ambil sobekan kertas kecil dari tangannya untuk kemudian menghubungi nomor yang tertulis di sana. Setelah tersambung, saya sodorkan hp saya kepada sang ibu tadi untuk kemudian dia mulai berbicara dengan anaknya di ujung sana.

“Terima kasih nak ya” Ucapnya denga muka penuh kelegaan. “Sama-sama bu, semoga bisa membantu.” Segera saya melangkah menuju kendaraan. Alhamdulillah, lega hati saya bisa memberi sedikit kemudahan bagi ibu tadi.

Jakarta….

Hari-hari pertama kembali menghirup udara kota Jakarta dan merasakan hiruk pikuk dan panasnya suasana keseharian, terus terang membuat saya sedikit paranoid. Dalam benak saya, telah menggumpal persepsi bahwa Jakarta bukan kota yang ramah. Kejahatan telah menjelma dengan berbagai bentuknya.

Di sebuah perempatan besar di daerah Slipi ketika saya menjejakkan kaki dari atas bis untuk kemudian menunggu bis jurusan selanjutnya, tiba-tiba seorang laki-laki mendekati saya dan mencolek saya, ”Mas, ada uang kecil. Saya kehabisan uang. Tolong.” katanya agak pelan.

Refleks tubuh saya menjauh darinya. ”Maaf, gak ada Mas..” Bergegas saya menuju bis yang saya tunggu yang kebetulan telah berhenti di depan saya. Berbagai pikiran buruk menjejali benak saya. Jangan-jangan kalo saya keluarkan dompet nanti dia akan merebutnya. Jangan-jangan dia hanya berpura-pura minta bantuan. Ah, itulah bagian dari keparanoidan saya.

Di suatu siang, saya berjalan di salah satu ruas jalan di perempatan Pancoran. Saat berjalan, dari arah depan saya ada seorang laki-laki yang menghentikan saya. ”Bang, bisa minta uang receh. Buat ongkos bang.” Lagi-lagi cerita-cerita sisi buruk ibu kota yang begitu sering saya dengar, membuat mulut saya akhirnya berucap, ”Maaf, tidak ada.” Dingin.

Yah. Saya merasakan bahwa hidup dalam komunitas di Jakarta ini harus selalu dalam kewaspadaan. Betapa rasa aman terasa begitu mahal di sini, setidaknya bagi saya. Sehinggal dalam beberapa hal, sering kali buruk sangka tiba-tiba lebih dulu muncul dari hati terdalam saya. Saya hanya bisa beristighfar kepada Allah jika telah demikian.

Saya hanya teringat cerita akan seorang Khalifah Umar bin Khathab. Waktu itu ada utusan dari Persia yang hendak menghadapnya. Setelah dicari ke rumah Beliau dan ke Masjid ternyata mereka tidak menemuinya, mereka mendatangi sebuah pohon di luar kota Madinah, ternyata beliau berada di situ. Beliau tertidur di bawah pohon itu.

Utusan Persia ini tercengang dan semakin takut. Mereka membangunkan Umar. Ketika beliau bangun, beliau bertanya: “Siapa ini ?” Mereka mengatakan: “Ini adalah Hurmuzan dan rombongannya, datang untuk berunding dengan anda, wahai Amirul Mukminin.” Orang Persia tersebut berkata: “Anda telah berhukum dengan adil sehingga anda merasa aman dan bisa tidur.”

Kesimpulan saya, rasa aman inilah yang kemudian membuat seseorang merasa tenang untuk melakukan segala aktifitas.

Tarbiyah....

Dalam proses dan komunitas tarbiyah pun dibutuhkan rasa aman ini. Para anggota halaqoh berhak mendapatkan rasa aman dalam halaqohnya. Baik dia mutarabbi maupun murabbi sekalipun. Rasa aman ini membawa kepada ketenangan. Ketika rasa aman dan tenang ini telah terbentuk, niscaya kerja-kerja amal bisa mereka optimalkan.

Ini semua akan terwujud salah satunya adalah dengan menumbuhkan sikap saling percaya di antara mereka. Ya, iklim saling mempercayai. Sehingga tidak ada peluang tumbuhnya perasaan ghill/dengki di antara hati-hati mereka, sebagaimana doa para sahabat yang Allah abadikan dalam QS Al Hasyr : 10 :

”Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.”

Jadi kenapa kepercayaan itu harus ditumbuhkan?

Karena darinya akan tumbuh rasa aman dan ketenangan. Karena dengannya akan muncul suasana saling menyayangi dan menghargai. Jika ingin tarbiyah ini menjadi kebutuhan dalam tiap diri anggota halaqoh, maka tumbuhkan kepercayaan di sana...!

Semoga. Selamat berpekan tarbiyah. Semoga kita bisa mewarisi ruh dan semangat dakwah yang ditinggalkan salah satu syekh kita, ustadz Rahmat Abdullah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar