Jumat, 01 Agustus 2008

Sekedar Menapaktilasi Perjalanan

Februari 1998

Akhir ramadhan pada 1418 H kalau tidak salah, atau sekitar bulan Februari 1998, 10 tahun yang lalu. Saya masih ingat di salah satu ruangan Masjid Baitul Mal kampus kami, saya sedang tiduran di tengah aktifitas i’tikaf waktu itu. Ada dua hal yang begitu menggelayuti pikiran saya. Pertama, penempatan kerja yang masih menjadi teka-teki saya. Entah, sepertinya saya merasa yakin akan mendapatkan penempatan di pulau Jawa. Yang kedua, saya sedang menunggu jawaban dari seorang gadis. Ehhmm...

Tiba-tiba salah seorang sahabat saya membangunkan saya. ”Ente penempatan di Palembang. Bareng ama Muji n Tenang.” Oops, Palembang? Padahal si dia kan instansinya bepeka. Palembang sepertinya belum ada bepeka. Begitu pikir saya. Ah, insyaAllah nanti akan ada jalan keluar.

Malam harinya ada telepon buat saya. Ternyata dari murabbiyah gadis tadi. Setelah mengabarkan seperlunya, beliau menanyakan kesiapan saya. “Oke, insyaAllah saya siap ta’aruf mbak. Tolong nanti dikabarkan waktu dan tempatnya.” Begitu jawab saya. Sempat saya sampaikan juga bahwa saya penempatan di Palembang. Persisnya di Kanwil III DJP Sumbagsel. Sebagai bahan pemberitahuan kepada sang gadis juga.

Alhamdulillah, semua dimudahkan. Ternyata di Palembang telah dibuka Bepeka Sub unit Perwakilan Palembang. Proses ta’aruf pun yang sedianya dilakukan di Jakarta akhirnya disepakati langsung di rumah sang gadis, di Semarang. Karena dia sudah terlanjur pulang untuk berlebaran. Tiga hari pasca idul fitri tahun itu saya ta’aruf dengannya sekaligus dengan orang tuanya. Itulah momen pertama kali saya melihat calon istri saya.

Sepekan dari hari itu, saya datang dengan orang tua saya untuk meminang gadis tersebut. Forum yang sederhana, orang tua saya bertemu dengan orang tua dia. Kami akhirnya menetukan hari h pernikahan kami, satu setengah bulan setelah hari itu.

Maret 1998

Awal maret ini, merupakan kali pertama saya menginjakkan kaki di bumi swarnadwipa. Palembang. Dengan menumpang bis Putera Remaja kelas super eksekutif (waktu itu masih Rp. 60.000), merupakan pengalaman tersendiri bagi kami.

05 April 1998

Ini adalah hari pernikahan saya. Awal bulan dzulhijah, seingat saya 2 hari menjelang hari raya idul adha. Ada banyak cerita di momen bersejarah ini, yang menurut saya harus diceritakan dalam cerita tersendiri. Saya langsung dari Palembang menuju Jakarta, berombongan dengan teman-teman berangkat dari arah Jakarta. Sementara sahabat-sahabat dari klaten dan keluarga berangkat dalam dua rombongan.

Saya harus berterima kasih kepada sahabat-sahabat saya yang berkenan menemani saya pada hari pernikahan saya tersebut. Semoga Allah membalas kebaikan antum antunna semua dengan balasan yang jauh lebih baik. Dan semoga Allah senantiasa memberkahi antum dan keluarga.

Jakarta - Palembang

Praktis sepekan setelah akad nikah, saya harus kembali ke Palembang. Istri kemudian mulai proses mengurus kepindahan dari Jakarta ke Palembang. Jeda sampai dengan keluarnya SK kepindahan istri ke Palembang, kami menjalani kehidupan jarak jauh. Sebulan sekali saya berkunjung ke Jakarta. Transportasi yang bisa kami jangkau hanyalah bis. Inilah periode pertama perpisahan saya dan istri.

Dramatis. Barangkali bisa dikatakan demikian. Banyak momen besar terjadi dalam periode ini. Puncak krisis ekonomi di Indonesia. Demo besar-besaran reformasi. Hingga lengsernya Pak harto dari kursi kepresidenan.

Ketika kerusuhan Mei 1998, ketika penjarahan dan pembakaran terjadi di jalanan-jalanan ibu kota. Ketika korban mulai berjatuhan di semanggi dan trisakti. Palembang pun bergolak. Demo, perusakan, dan pembakaran terjadi di beberapa ruas jalan. Sore itu saya harus berangkat ke Jakarta. Bis yang saya naiki harus berputar-putar untuk menghindari kerumunan-kerumunan massa. Kru bis memimpin doa, agar perjalanan sampai Jakarta selamat. Sesuatu yang tidak biasa.

Pagi sesampai di Jakarta, sepanjang jalanan dari atas bis saya hanya bisa melihat bekas-bekas kerusuhan. Puing-puing berserakan di sana-sini. Benar-benar kerusuhan yang luar biasa, hanya itu yang bisa saya bayangkan.

Pagi 20 Mei itu, saya berdua istri hendak berangkat ke monas. Kami tidak tahu jika acara peringatan kebangkitan nasional besar-besaran yang dimotori Pak Amin Rais di monas itu dibatalkan. Yang kami tahu kemudian hanyalah kenyataan bahwa semua akses jalan ke arah monas diblokade. Tentara dan mobil panser ada di mana-mana, hampir di tiap perempatan besar. Akhirnya kami berangkat ke senayan, bergabung dengan para mahasiswa yang telah lebih dulu menduduki senayan. Ah, benar-benar hari yang penuh kenangan.

Inilah bagian dari kenangan-kenangan periode Jakarta-Palembang. Kurang lebih 5 bulan saya harus menjalaninya. Hingga akhirnya istri bisa pindah Palembang pada bulan Juli atau Agustus berikutnya.

Palembang

Menempati sebuah rumah petak di daerah dekat sport hall, yang kami sewa Rp. 900rb satu tahun, kami mengawali hidup di Palembang. Di sini pulalah kemudian lahir anak kami yang pertama. Malam itu jam 23.00 istri saya sudah mulai merasa sering kontraksi. Sempat sedikit panik karena saya belum punya kendaraan. Mencari angkutan/taksi adalah hal yang susah di malam seperti ini. Saya mengetuk pintu seorang ikhwah telkom (Pak Hendra Noviar) yang kontrakannya di blok belakang kami. Yang saya tahu dia mempunyai mobil. Ternyata dia mengabarkan bahwa mobilnya telah dia jual.

Saya ingat dengan sahabat lain yang tinggal di komplek PUSRI, namanya M Luthfi. Ya, orang tuanya punya mobil. Dengan pinjaman telepon ikhwah telkom tadi, saya mengontak dia. Alhamdulillah, dia bersedia. Kurang lebih pukul 23.45 mobil datang. Kami segera berangkat ke rumah sakit bersalin. Pukul 00.05 kami telah sampai di rumah sakit. Alhamdulillah, Allah memudahkan semuanya. Kurang lebih 20 menit kemudian anak pertama kami lahir. Hari itu, 16 April 1999, satu tahun sejak pernikahan kami.

September tahun 1999, istri akhirnya harus kuliah S2 di Yogyakarta. Sejatinya dulu ketika awal pernikahan persiapan yang dilakukannya adalah untuk S2 luar negeri, tapi saya tidak mengijinkannya. Jadilah istri dengan anak saya berangkat lebih dulu ke Yogyakarta. Waktu mengantar ke sana, akhirnya kami dapatkan kost di sebuah rumah yang dikontrak bersama beberapa akhwat di sana. Nama kostnya TSABITA.

Palembang – Yogyakarta

Ini periode kedua perpisahan saya dengan istri dan anak. Sebulan sekali saya pulang ke Jogjakarta. Jalur darat dengan bis kurang lebih menempuh waktu 36-40 jam. Perjalanan yang melelahkan. Kesendirian di Palembang cukup menguras pikiran saya. Lebih terasa ketika bulan puasa mulai menjelang. Beruntung ada 2 sahabat saya dari BPKP yang kontrak di sebelah kontarakan saya. Lumayan untuk menemani hari-hari sepi saya.

Menginjak awal tahun 2000 saya menyampaikan kondisi saya ke atasan dan akhirnya mengajukan permohonan pindah ke Yogyakarta pada awal Februari tersebut. Setelah kurang lebih 6 bulan berpisah, akhir Maret keluar SK kepindahan saya ke Yogyakarta. Alhamdulillah Allah mudahkan.

Yogyakarta (1)

Di Yogyakarta kami mengontrak sebuah rumah sederhana, 1,4 juta satu tahun. Sebuah rumah semi permanen. Dinding luar tembok, sekat-sekat di dalam memakai triplek. Sengaja kami mencari lokasi dekat dengan kampus, agar memudahkan istri jika hendak kuliah.

Alhamdulillah, kuliah istri berjalan lancar. Bahkan saat menyusun tesis adalah saat-saat dia mengandung anak kami yang kedua, dia dapat menyelesaikannya dengan baik. Hingga akhirnya istri melahirkan anak kami pada 04 januari 2001. Seorang bayi perempuan. Lengkap sudah kebahagiaan kami dengan dikaruniakannya kepada kami sepasang anak laki-laki dan perempuan.

Sekitar bulan Maret 2001 istri wisuda. Persoalan berikutnya datang, selesai kuliah istri harus kembali ke Palembang. Dan periode ketiga perpisahan saya dengan istri dan anak-anak harus saya jalani.

Yogyakarta – Palembang

Pada awal-awal kembalinya istri ke Palembang, sempat kami berbagi anak. Yang sulung ikut saya di Yogyakarta sementara yang kecil karena masih menyusu, ikut istri ke Palembang. Usianya baru 5 bulanan waktu itu, sedangkan kakaknya usianya 2 tahun.

Setelah sebelumnya sempat menumpang di rumah seorang ikhwah karena belum mendapatkan kontrakan di Palembang, akhirnya istri mendapat sebuah kontrakan tidak jauh dari kontrakan awal kami dulu. Sewanya 1,2 juta satu tahun.

Karena berbagai pertimbangan, akhirnya si sulung saya antarkan ke Palembang juga. Sehingga istri bertiga dengan anak-anak di Palembang, sementara saya sendirian di Yogyakarta. Alhamdulillah, kami akhirnya dapatkan seorang khadimat yang bisa menemani istri dan anak-anak di sana.

Periode ini bagi saya lebih terasa berat lagi. Membayangkan istri dengan dua orang anak di pulau seberang sana, membuat hati ini teriris-iris. Kami kemudian mengupayakan permohonan pindah ke Yogyakarta. Telah beberapa pejabat bepeka kami datangi, tapi berkahir mentok. SK Kepindahan tidak kunjung datang.

Satu atau dua bulan sekali kembali saya harus melewati jarak Yogyakarta-Palembang dengan bis yang menempuh waktu 36 – 40 jam. Satu tahun lebih saya menjalani ini. Cukup melelahkan dan menguras energi. Hingga kemudian ketika ada pergantian sekjen bepeka, ada kebijakan untuk mempermudah kepindahan mengikuti suami. Menjelang akhir tahun 2002 istri bisa mendapatkan SK pindah ke Yogyakarta. Alhamdulillah. Akhirnya kembali kami bisa berkumpul.

Yogyakarta (2)

Tahun 2002, KPP Yogyakarta pecah menjadi dua, KPP Yogyakarta Satu dan KPP Yogyakarta Dua. Saya termasuk satu dari sekian puluh pegawai yang ikut dipindahkan ke KPP Yogyakarta Dua. Menempati sebuah gedung tua eks gedung departemen sosial. Semua serba darurat. Begitulah gambaran kantor kami waktu itu.

Di sisi lain, berkumpul lagi dengan istri membuat produktifitas kami kembali. Tahun 2003 istri kembali hamil dan melahirkan pada 09 Desember 2003. Anak ketiga kami laki-laki. Alhamdulillah.

Tahun-tahun ini adalah DJP memulai modernisasinya. Terutama dimulai dari beberapa kantor di DKI. Membayangkan kantor yang mempunyai sistem yang lebih baik, menjadi obsesi tersendiri bagi saya dan beberapa teman. Tapi untuk meninggalkan keluarga lagi, bagi saya ini sesuatu yang berat dan harus dipikirkan kembali.

Akhirnya ketika ada panggilan untuk test saringan lagi tahun 2005, yang di formulirnya mencantumkan opsi/pilihan untuk penempatannya, ditambah dengan dorongan dari beberapa atasan kami yang telah terlebih dulu ikut modernisasi di wilayah DKI, saya dan beberapa teman mengikuti test seleksi tersebut. Tentu di opsi penempatan itu saya mencantumkan pilihan pertama Kanwil DJP Jabagteng 2 dan pilihan dua Kanwil DJP Jabagteng 1. Saya sudah trauma untuk berpisah lagi dari keluarga. Opsi ketiga saya kosongkan.

Test pertama dan kedua, saya dan beberapa teman yang dari awal mengikutinya alhamdulillah lulus. Sejauh itu kami belum penempatan. Saya tetap optimis dengan penempatan sesuai permintaan, mengingat tidak akan lama lagi modernisasi merambah ke arah jawa tengah dan jawa timur. Hingga gempa Mei 2006, memporakporandakan kantor kami. Hampir 3 bulan kami tidak bisa bekerja. Kantor harus pindah kantor menyewa sebuah gedung bekas sewaan Bank Mandiri.

Februari 2007, ada diklat SAM. Selama sepekan kami mendapatkan diklat seputar modernisasi DJP. Menginjak hari terakhir diklat, kami semua dikejutkan dengan keluarnya SK Mutasi kami. Dari Jogja, satu orang ke Madya Medan, satu orang ke Madya Sidoarjo, satu orang ke Kanwil Makassar, selebihnya sebelas orang ke Jakarta termasuk saya.

Akhirnya, kejadian ini mesti berulang lagi. Saya lagi-lagi harus berpisah dari istri dan anak-anak. Dan inilah memang kenyataan yang harus kami jalani. Dari sekian orang yang mutasi tersebut, hanya teman kami yang mutasi ke Medan yang memboyong serta keluarganya. Selebihnya, dengan berbagai alasan dan pertimbangan dengan berat hati kami tinggalkan keluarga kami di Yogyakarta.

Mulailah periode keempat perpisahan saya dengan istri dan anak-anak. Kehidupan jarak jauh Jakarta – Yogyakarta menjadi menu saya.

Jakarta – Yogyakarta

Bulan Maret 2007. Dimulai dari bulan inilah saya kembali menjalani kehidupan jarak jauh. Awalnya keinginan saya adalah 2 pekan sekali pulang. Ternyata teman-teman lebih atraktif, tiap pekan kita harus pulang. Dan memang kenyataannya, saya akhirnya tidak bisa untuk tidak pulang tiap pekan.

Alhamdulillah, sepekan sekali saya masih bisa pulang ke Yogyakarta. Teman kami yang di Makassar hanya bisa pulang paling cepat 2 pekan sekali. Itu pun ongkosnya luar biasa karena harus tiket pesawar. Kereta api menjadi sarana transportasi langganan kami. Bahkan mungkin sang kondektur sampai-sampai hafal dengan wajah-wajah kami.

Ya, tentunya kami tidak bisa 100% fokus pada akhirnya. Karena akhirnya pikiran kami harus banyak cabangnya. Meski tertatih-tatih, kami mencoba untuk terus melaksanakan amanah yang diberikan kepada kami. Dan kami belum tahu sampai kapan ujung dari periode ini. Satu yang menjadi harapan kami bahwa hidup bersama kembali dengan istri dan anak-anak kami bisa kami rasakan kembali. Meski kami harus bersabar menunggu saat-saat itu kembali.

Semoga...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar