Selasa, 05 Agustus 2008

Belajar Ikhlas

Hari Selasa pekan yang lalu, kajian di kantor saya diisi oleh Ust. Sukeri Abdillah. Wajah beliau sudah saya kenali sedari beliau menjadi presenter acara kajian pagi di salah satu stasiun televisi swasta, beberapa tahun yang lalu. Di Jakarta pun, saya pernah sekali sholat Juma’at dengan khatib beliau.

Hari sebelumnya teman-teman sudah senyum-senyum jika bertemu dengan saya, “Ustadz, besok mau mengisi kajian ya?” ledek mereka. Hanya karena nama saya mempunyai kesamaan dengannya. Bahkan pagi menjelang acara dimulai, ada yang iseng menjemput ke meja saya. “Ustadz, acara sudah hendak dimulai. Ustadz dimohon segera ke mushola.” Dan saya pun tidak kalah menggoda, “Oh iya? Kalo begitu kita harus segera ke sana.”

Mushola kami berada di lantai 7. Untuk menuju ke sana kami harus melalui lift, atau kalau mau olah raga sedikit bisa lewat tangga darurat. Ketika memasuki lift, masih saja teman-teman bercanda, ”Ayo, ustadz buruan.” Tiba-tiba pandangan saya tertuju kepada sosok di hadapan saya yang langsung saya kenali. ”Lha ini ustadznya sudah ada. Maaf ustadz, ini temen-temen pada bercanda.” langsung saya salami beliau. ”Oh iya, memang kenapa?” tanyanya langsung nyambung. ”Ini, kebetulan nama kita ada kesamaannya. Cuma kalo saya gak pakai abdillah.” jawab saya. ”Oh, begitu.”

Teman-teman mendadak menjadi kikuk. Mungkin merasa tidak enak saja. Perjalanan menuju mushola kami hanya sempet ngobrol beberapa kata. ”Memang antum dari mana asalnya?” tanya beliau. ”Klaten ustadz.” Jawab saya. ”Oh, kalo saya dari Tegal.” Kata beliau. Hmm...

Pengajian siang hari itu kemudian segera dimulai. Beliau memaparkan tentang makna keikhlasan dalam bekerja. Untuk mencapai keikhlasan, maka ada beberapa hal yang harus kita persiapkan :
1. quwwatul ghoyah wal istiqomah (kekuatan orientasi dan konsistensi)
2. al afwu (meringankan kesalahan orang lain)
3. itsarul amal (mendahulukan kepentingan orang lain)
4. al mujahadah (bersungguh-sungguh)

Saya tidak ingin menguraikan satu per satu poin-poin di atas. Yang ingin saya garis bawahi adalah bahwa ikhlash merupakan sesuatu yang mudah diucapkan, tapi berat dan susah dalam pengamalannya. Ustadz Mujab Mahalli, seorang kyai di bilangan Krapyak Yogyakarta, dalam sebuah bukunya menceritakan tentang contoh sebuah keikhlasan.

Tersebutlah seorang kyai yang mempunyai dua orang santri yang telah lulus dari pondoknya. Kebetulan keduanya bersaudara dan tinggal berdekatan. Sebut saja namanya Karyo dan Kardi. Setelah sekian bulan lamanya mereka tidak bertemu kyai mereka, ada kerinduan dalam diri mereka.

Karyo mengutarakan hal itu kepada istrinya, ”Aku kok kangen sama pak kyai ya, Bune. Bagaimana kalo kita sowan beliau?” ”Ya bagus tho Pakne, saya setuju itu.” jawab istrinya. ”Kita bawa oleh-oleh ya buat beliau, kita punya apa?” tanya Karyo. Mereka hanya seorang petani desa dengan ladang yang tidak begitu luas. ”Ya, cuma ketela di belakang rumah itu, Pakne.” kata istrinya. ”Ya sudah, tujuan kita kan silaturahmi. InsyaAllah beliau berkenan.” kata Karyo mantab.

Singkat cerita, mereka berdua akhirnya sampai di rumah kyai mereka. Kyai dan santri itu banyak berbincang sambil melepas kerinduan mereka. Ketika hari menjelang sore, Karyo dan istrinya berpamitan. ”Tunggu sebentar ya.” kata sang kyai sambil ke ruang dalam mengajak istrinya. ”Nyai, apa yang kita punyai untuk oleh-oleh si Karyo?” tanya kyai kepada istrinya. ”Cuma seekor kambing di belakang itu, kyai.” jawabnya. ”Yo wis, kita bawakan untuk si karyo ya.” kata kyai. Karyo pulang ke desanya sambil menuntun seekor kambing, pemberian sang kyai.

Sampai di rumah, demi melihat Karyo menuntun seekor kambing, Kardi bertanya kepadanya, ”Lah, dari mana kamu yo? Kok pulang-pulang membawa seekor kambing?” ”Dari rumah kyai.” jawab karyo singkat. ”Memang kamu bawa oleh-oleh apa tadi?” tanya kardi penasaran. ”Cuma bawa ketela pohon saja.” kata Karyo.

Tiba-tiba pikiran Kardi berhitung matematis. Jika Karyo saja sowan kyai membawa ketela diberi seekor kambing, kalo bawa seekor kambing pasti dapatnya paling tidak seekor sapi.Begitu pikiran dalam benaknya.

Hari berikutnya, segera Kardi mengajak istrinya sowan ke sang kyai. Tidak lupa dia menuntun seekor kambing buat oleh-oleh gurunya itu. Sesampai di rumah kyai, mereka disambut gembira sang kyai. Sama seperti Karyo, mereka berbincang banyak hal sambil melepas kerinduan mereka. Ketika hari beranjak sore, Kardi berpamitan. ”Tunggu sebentar ya.” kata sang kyai. Kyai dan nyai kemudian masuk ke ruang dalam. ”Nyai, kita punya apa buat oleh-oleh si Kardi?” tanya kyai. ”Tinggal ketela yang di dapur itu, kyai. Pemberian Karyo kemaren.” jawab nyai. ”Ya sudah, bawakan buat si Kardi ya.” kata kyai. Akhirnya Kardi pulang dengan hati dongkol karena hanya memperoleh sekarung ketela. Ia tidak mendapatkan oleh-oleh seperti yang dia bayangkan sebelumnya.

Inilah gambaran sederhana dari makna ikhlash. Bahwa keikhlasan itu adalah manakala dalam beramal maupun beraktifitas, tidak ada pamrih lain yang mengotori niat awal kita.

Apalagi kemudian ketika kita kaitkan dengan hidup kita. Bahwa sesungguhnya misi utama kita diciptakan adalah untuk beribadah kepada-Nya. (lihat QS Adz-Dzariyat : 56). Ini mengandung arti bahwa semestinya semua akfitas keseharian kita ghoyahnya (orientasinya) adalah ’hanya’ untuk beribadah kepada-Nya. Ini dahulu yang perlu diluruskan. Sehingga kemudian dalam perjalanannya, pamrih-pamrih dan kepentingan-kepentingan manusiawi kita semestinya tidaklah yang menjadi orientasi hidup kita.

Ketika orientasi telah benar-benar untuk mengabdi kepada-Nya, dan kita bisa konsisten di sana, maka kembangan-kembangan tadi – kepentingan-kepentingan manusiawi kita baik berupa jabatan, harta, penghargaan, dll – itu adalah pekerjaan-Nya. Dia yang akan mencukupkan kita, sejauh yang menjadi hak kita. Dan manakala Dia telah mencukupkan kita, banyak sedikit rejeki atau hasil yang kita dapat dari-Nya tidaklah penting. Yang terpenting adalah ketika semua itu menjadi berkah bagi hidup kita.

Terus, kesimpulannya ikhlash itu seperti apa? Silakan disimpulkan masing-masing. Saya tidak ingin menyempitkan pandangan kita tentang ikhlash. Yang terpenting adalah bagaimana kita mencoba terus belajar ikhlash, ikhlash, dan ikhlash. Termasuk ikhlash terhadap ketentuan-ketentuan (baik qadha maupun qadar) yang Allah tetapkan atas hidup kita. Dengan terus berkarya dengan sesuatu yang terbaik. Sesuai dengan kemampuan yang kita miliki.

Allahu a’lam bish-shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar