Rabu, 27 Agustus 2008

Lebih hebat dari serangan pasukan Ghassan

”Lebih hebat dari serangan pasukan Ghassan...”

Begitulah bahasa seorang sahabat dari kalangan Anshar, ketika hendak mengabarkan kemelut yang sedang terjadi di rumah tangga Rasulullah. Ketika itu tersiar kabar bahwa Rasulullah memarahi para istrinya dengan mendiamkannya. Hal itu terjadi karena adanya kecemburuan di antara istri-istri Beliau.

Di dalam Tafsir Fi Dzilalil Qur’an, Sayyid Qutb menukil kisah tersebut sebagai bagian dari asbabun nuzul dalam Surat At Tahrim. Ada dua riwayat lain yang juga beliau sampaikan, akan tetapi riwayat ini (lihat HR Muslim : 1428 yang saya kopi paste di bawah ini), terdapat kalimat yang begitu berkesan di benak saya. Kalimat itu merupakan penggambaran yang apik berkaitan dengan ’adanya’ kemelut dalam keluarga Rasulullah.

Digambarkan oleh Umar bahwa saat itu kamu muslimin sedang berjaga-jaga terhadap seorang raja di antara raja-raja Ghassan, yang bermaksud hendak menyerang. Hati dan fikiran kamu muslimin ketika itu sesungguhnya banyak terpusat kepada masalah serangan Bani Ghassan itu. Tiba-tiba mereka mendengar ada ’gonjang-ganjing’ dalam keluarga Rasulullah. Tiba-tiba tersebar kabar bahwa Rasulullah menjauhkan diri dari para isteri beliau. Maka spontan kalimat yang terucap dari mulut sahabat tadi adalah bahwa hal itu ”Lebih hebat dari serangan pasukan Ghassan...”

Memandang dengan kaca mata lain

Ikhwati fillah...
Dalam hal ini Rasulullah adalah profil idaman keluarga dakwah. Posisi beliau sebagai qiyadah dakwah saat itu, tentu menjadi peran sentral dalam dakwah beliau. Semua mata tertuju kepada keharmonisan maupun pernak-pernik kecil keluarga beliau. Inilah bukti nyata bahwa keluarga berada dalam posisi yang strategis dalam pencitraan peran dakwah ini. Kegoncangan yang terjadi dalam keluarga Rasulullah membawa imbas kepada para jundiyahnya, dalam hal ini kepada para sahabat Beliau.

Inilah hakikat itu, kenapa Hasan al Bana memasukkan takwinul baitul muslim (membentuk keluarga muslim) dalam tahapan amal (maratibul ’amal), sebagai salah satu tahapan dari tahapan-tahapan untuk mewujudkan mimpi besar kita semua, yaitu agar Islam ini kembali menjadi ustadziatul alam, guru bagi alam semesta ini.

Ikhwati fillah...
Peran-peran kita selalu bergulir seperti kepingan mata uang. Di sisi lain kita akan berperan sebagai anak dari orang tua kita, tapi di sisi lain kita adalah orang tua dari anak-anak kita. Pun dalam perjalanan dakwah ini, kita harus siap berperan sebagai mutarobbi, sekaligus murabbi di waktu yang lain. Ada kalanya sebagai qiyadah, tapi di lain waktu kita juga sebagai seorang jundiyah.

Maka berkaca dari gambaran sirah di atas, sudah semestinya kita harus selalu berusaha untuk membungkus keluarga kita dengan citra yang baik dan islami. Karena bagaimana pun, kondisi keluarga seorang aktivis dakwah akan selalu menjadi perhatian masyarakat di sekitarnya. Baik buruk dakwah ini bagi mereka akan mereka ukur dari bagaimana kondisi keluarga pendakwahnya, begitu setidaknya.

Kestabilan dari perjalanan dakwah ini, sedikit banyak akan terukur dari seperti apakah kestabilan keluarga para pendakwahnya. Hanya, Rasulullah dan para sahabat dahulu selalu mendapat bimbingan Allah langsung jika ada masalah yang mereka hadapi. Sedang kita? Harus banyak belajar dan mengambil pelajaran dari para pendahulu kita. Sambil terus berdoa agar Allah terus mengokokohkan dakwah ini, salah satunya dengan melalui usaha-usaha kita untuk terus mengokohkan peran-peran strategis keluarga kita. Semoga Allah membimbing dan merahmati kita semua.

Dan inilah hadist yang saya maksud di atas :

HR Muslim (1428)

Dari 'Abdullah bin 'Abbas r.a., katanya: "Telah setahun lamanya aku hendak bertanya kepada 'Umar bin Khaththab tentang makna sebuah ayat, tetapi aku tak berani menanyakan karena hormat ku kepadanya. Setelah musim haji tiba, beliau pergi haji dan aku pun pergi pula bersama-sama dengannya. Ketika kami dalam perjalanan pulang, beliau pernah menyimpang jalan untuk buang hajat dan aku menunggunya hingga beliau selesai.

Kemudian aku berjalan pula kembali bersamanya. Ketika itulah aku bertanya kepada beliau, "Ya, Amirul Mukminan! Siapakah dua orang wanita di antara para isteri Rasulullah saw. yang bekerja sama menentang kebijaksanaan beliau?" Jawab beliau, "Mereka adalah Hafshah dan 'Aisyah." Lalu kata ku, "Demi Allah! Aku bermaksud menanyakan masalah ini kepada anda sejak setahun yang lalu. Tetapi aku tidak berani karena menghormati kehebatan anda." Jawab Umar, "Jangan begitu! Apa yang engkau duga bahwa aku mengetahuinya, tanyalah langsung kepada ku; jika ternyata aku memang mengetahuinya, akan ku jelaskan padamu."

Kata 'Umar selanjutnya, "Di masa jahiliyah, kami tidak pernah mengikut sertakan wanita dalam suatu urusan, sehingga tiba waktunya Allah menentukan kedudukan dan peranan mereka, seperti tersebut dalam firmanNya. Maka pada suatu waktu, ketika aku sedang memikirkan suatu urusan, tiba-tiba isteri ku berkata, "Bagaimana kalau anda buat begini dan begitu?" Lalu kata ku kepadanya, "Mana engkau tahu. Engkau tidak usah turut campur dan jangan susah-susah memikirkan urusan ku." Jawabnya, "Anda ini sangat aneh, hai anak Khaththab! Anda tidak mau bertukar fikiran dengan ku, padahal puterimu (Hafshah) selalu bertukar fikiran dengan Rasulullah saw., sehingga pernah sehari semalam dia bermarahan."

Mendengarkan hal itu, lalu ku kenakan pakaian ku, sesudah itu aku pergi ke rumah Hafshah. Sesampai di rumah Hafshah aku berkata kepadanya, "Hai, puteri ku! Betulkah engkau suka membantah Rasulullah saw. sehingga sehari semalam bermarahan?" Jawab Hafshah, "Demi Allah! Kami hanya bertukar fikiran." Lalu kata ku, "Ketahuilah hai anakku! Aku peringatkan kepada mu siksa Allah dan kemarahan Rasul-Nya. Sekali-kali janganlah engkau terpengaruh dengan kebanggaan seseorang karena kecantikannya dan karena cinta Rasulullah kepadanya." Kemudian aku pergi dan singgah di rumah Ummu Salamah, karena Ummu Salamah itu kerabat ku. Kepadanya kuceritakan hal tersebut di atas. Jawab Ummu Salamah, ”Anda keterlaluan hai anak Khaththab! Anda masuki segala urusan, sampai-sampai kepada urusan rumah tangga Rasulullah saw. dengan para isteri beliau." Ucapan Ummu Salamah itu menyinggung perasaanku, sehingga sangat berkesan di hati ku. Karena itu aku pergi meninggalkannya.

Dan aku mempunyai seorang sahabat dari kalangan Ansar, yang selalu saling memberi informasi satu sama lain antara kami berdua. Saat itu kami sedang berjaga-jaga terhadap seorang raja di antara raja-raja Ghassan, yang bermaksud hendak menyerang kami. Hati dan fikiran kami ketika itu sesungguhnya banyak terpusat kepada masalah serangan Bani Ghassan ini. Tiba-tiba sahabat Ansar ku datang mengetuk pintu seraya katanya, "Buka pintu, buka!" Aku bertanya, "Apakah pasukan Bani Ghassan telah datang?" Jawabnya, "Lebih hebat dari serangan pasukan Ghassan. Rasulullah saw. menjauhkan diri dari para isteri beliau." "Celaka si Hafshah dan 'Aisyah," bisik ku.

Kemudian ku kenakan baju ku, lalu aku pergi menemui Rasulullah saw. Kiranya beliau berada di gudang simpanan barang-barang yang dapat dinaiki dengan tangga. Seorang pelayan Nabi saw. berkulit hitam sedang berada di kepala tangga. Aku berkata kepadanya, "Aku ini 'Umar!" Lalu aku diizinkannya masuk, dan ku ceritakan kepada Rasulullah saw. Hal yang baru ku dengar dan ku alami. Ketika aku menceritakan pertemuan ku dengan Ummu Salamah. Rasulullah saw. tersenyum. Beliau tidur di tikar tanpa alas, pakai bantal kulit berisi sabut. Dekat kaki beliau terletak selonggok biji qarazh dan di dekat kepalanya tergantung kulit yang baru disamak. Aku melihat bekas tikar berkesan di punggun beliau. Karena itu aku menangis sambil berkata, "Ya, Rasulullah Kisra Persia dan Kaisar Rumawi bermewah-mewah di istana mereka dengan apa yang dimilikinya. Anda adalah Rasulullah." Sabda Rasulullah saw., "Apakah engkau tidak rela keduanya memiliki dunia, sedangkan engkau memiliki akhirat?"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar