Jumat, 09 Mei 2008

Ada apa dengan keluarga kita?

Saya tergelitik dengan judul ini setelah beberapa malam yang lalu membacanya dari tabloid Depok Post, dalam sebuah rubrik yang dikelola Ustadszah T. Farida Rachmayanti (Koordinator Rumah Cinta Keluarga FADEC).

Tapi, judul itu hanyalah puncak dari kegundahan saya setelah pekan kemaren saya berkesempatan untuk mengobrol ringan dengan saudara-saudara saya di Dapur Sunda dalam acara rihlah wada’. Ditambah lagi perjumpaan dan perbincangan saya dengan seorang teman lama di sela acara milad di alun-alun utara jogja ahad kemaren.

*****

”Akhi, antum boleh percaya atau tidak. Di kota kita sana, ada beberapa anak dari ikhwah kita yang kuliah di sana yang bermasalah. Ada yang sangat benci dengan orang tuanya karena dari kecil dia di pesantrenkan dan tidak mendapat sentuhan kasih sayang memadai dari orang tuanya. Ada yang karena ayahnya menikah lagi. Sampai mereka bilang, mereka tidak ingin bertemu dengan orang tuanya lagi.” Ujar salah seorang dari kami malam itu di dapur sunda.

”Sebetulnya semua itu kuncinya komunikasi dengan hati.” kata ustadz. ”Saya yakin, kalo orang tuanya mau mendengar, mendekatinya dan dialog dari hati ke hati. Masalah itu bisa selesai. Apalagi mereka sudah besar, kuliah.”

”Makanya saya sering wanti-wanti ke antum semua. Perhatikan keluarga kita. Istri dan anak-anak kita. Jangan bedakan perlakuan antum terhadap anak-anak antum, meski anak antum ada yang sudah besar. Kalau menyapa, sapalah semua meski hanya sekedar menanyakan kabar.” tambah beliau.

”Makanya kita tiap pekan pulang kampung ustadz, dalam rangka memberi perhatian kepada keluarga.” salah satu teman semangat, disambut tawa ringan kami semua.

Pelajaran pertama yang saya peroleh adalah sudah seberapa efektif komunikasi kita dalam keluarga dan seberapa ’adil’ kita memberi telah perhatian kepada mereka semua.

*****

”Lah, antum belum tahu tho kabarnya?” teman lama saya bertanya memastikan. Dia telah lama diamanahi ikut menggawangi sebuah lajnah munakahat di kota saya. “Ya belum lah” jawab saya. Maka mengalirlah cerita tentang dinamika a’iliyah yang layak untuk mendapat perhatian yang serius dari kita semua, di tengah terik matahari di alun-alun siang itu.

Cerita tentang binaanya yang terbelit fitnah terbesar dari triple fitnah (harta tahta dan wanita). Cerita tentang sebuah ta’adud yang meninggalkan duka, atau ‘sekedar’ meninggalkan cerita yang kurang sedap di luar sana. Cerita tentang ’budaya’ kasus virus merah jambu yang tengah marak terjadi di kalangan aktivis dakwah kampus. Bahkan bukan sekedar merah jambu lagi, mungkin telah menjadi merah darah.

Ah, saya tidak sedang menyalahkan siapa-siapa. Tidak ingin membeberkan aib. Akan tetapi hanya tersentak kembali kepada sisi kemanusiaan kita. Bahwa fitnah lawan jenis ini bagi siapapun akan menjadi fitnah yang terbesar. Baik ia seorang kader dakwah ataupun bukan, bahkan baik ia telah menikah maupun belum menikah.

Pelajaran kedua siang itu adalah hati-hati berinteraksi dengan lawan jenis, meski anda sudah menikah sekalipun. Karena hati ini begitu mudah berbolak-balik.

*****

Ikhwati fillah...
Seorang muasis dakwah ini jauh-jauh hari telah mengingatkan kepada kita tentang 3 modal utama bagi kuatnya sebuah bangunan dakwah yaitu matanatul jama’ah (kekokohan jama’ah), hayawiyatul harakah (dinamika pergerakan) dan intajiyatul amal’ (amal yang produktif).

Untuk mencapai matanatul jama’ah, ia merupakan mata rantai dari istiqrarun-nafsi, istiqrarul-a’iliy, istiqrarusy-sya’bi, istiqrarut-tandzimi, baru istiqrarul-jama’ah. Dengan bahasa yang mudah, agar jama’ah ini menjadi jamaah yang kokoh, maka ia harus dibangun melalui pribadi-pribadi yang istiqrar (mapan), maka ia menjadi keluarga istiqrar, masyarakat yang istiqrar, organisasi yang istiqrar dan pada gilirannya akan menghasilkan jama’ah yang istiqrar pula.

Lihatlah, sebuah jamaah yang kokoh hanya akan terbentuk dari pribadi-pribadi yang mapan, stabil, dan tidak bermasalah. Pribadi-pribadi inilah diharapkan akan membentuk keluarga-keluarga yang mapan, stabil, dan tidak bermasalah.

Ikhwati fillah...
Karenanya, marilah berhenti sejenak untuk menengok kembali jejak-jejak langkah diri dan keluarga kita. Kita bukan pribadi yang sempurna, itu jelas. Kita banyak meninggalkan kesalahan dan kegundahan di belakang sana, itu mungkin. Yang pasti, kita masih mempunyai mimpi besar yang harus kita realisasikan. Peradaban yang islami. Mimpi itu akan terasa lebih indah menjadi kenyataan, jika tangan-tangan kita ikut andil di dalamnya.

Mengutip apa yang ditulis Ustadszah T. Farida Rachmayanti, jangan bermimpi tentang bangsa yang hebat sebelum kita bisa mencetak keluarga-keluarga yang hebat. Dan jangan pula berkhayal tentang bangsa yang kuat sebelum kita mampu membangun keluarga-keluarga yang kuat.

Maka tengoklah sebentar, ada apa dengan keluarga kita?


Jakarta, 09/05/08

Tidak ada komentar:

Posting Komentar