Rabu, 14 Mei 2008

Disorientasi

Ini adalah tanggapan saya atas tulisan seorang teman saya di email siang tadi, sekedar untuk menuntaskan perasaan yang masih tersisa tentang modernisasi di instansi tercinta.

Disorientasi

“Maaf Pak, lagi malas” Ini jawaban spontan saya ketika kepala seksi meminta saya untuk segera memberi keputusan sebuah permohonan keberatan, agar target KPI kantor kami tetap tinggi.

Ini bukan malas yang tanpa sebab, setidaknya begitu bagi saya. Dan ini bukan bentuk pembangkanagan saya, tapi sekedar ’protes’ yang saya yakin tidak akan ada yang mau mendengarnya, dan memang solusinya pun masih gelap. Setelah menjawab permintaan beliau itu, saya segera kirimkan email susulan tentang uneg-uneg seputar perkembangan modernisasi.

Ya, saya katakan kepada beliau bahwa saya sedang mengalami disorientasi. Eforia modernisasi yang dulu begitu gempitanya, seakan lenyap dengan laju perkembangan modernisasi belakangan ini.

Kenapa terjadi disorientasi? Setidaknya saya mempunyai dua jawaban. Pertama, harapan yang tidak sebagai mana realita yang ada. Harapan yang terlanjur membumbung, ternyata dihadapkan kepada kenyataan bahwa masih ada budaya-budaya yang tidak mendukung modernisasi. Bisa jadi berupa budaya paternalistik yang masih kental. Budaya-budaya dasar semisal disiplin, keterbukaan, kerja sama, pun masih jauh panggang dari api.

Yang kedua, adanya kebijakan yang sifatnya paradoks di era modernisasi ini. Contoh yang paling terang adalah masalah pengangkatan dan mutasi. Dulu untuk berperan serta dalam modernisasi ini harus melalui seleksi yang bagi saya luar biasa. Tapi justru ketika modernisasi mulai melaju dengan cepat, orang-orang yang menyambut seruan modernisasi ini dengan semangat dan ikhlas, seakan malah mendapatkan ’hukuman’. Sementara yang tidak mau bergeming, justru mendapatkan keleluasaan.

Belum lagi kalau melihat beban kerja dan resiko di kantor baru yang harus mereka pikul. Sementara reward yang mereka dapatkan tidak jauh berbeda dengan orang-orang yang mendapatkan keleluasaan tadi. Bahkan sebagian saya yakin, justru lebih rendah. Tentu bukan sekedar itu yang ingin saya munculkan. Seorang sahabat saya yang telah 2 tahun lebih dulu menjalani kehidupan jarak jauh, mengatakan ”Bosan cak, begini terus. Apa sih yang kita cari. Piye carane tha aku ben isok pindah saka kene?”

Saya pernah mengobrol dengan mantan kepala seksi saya dalam sebuah perjalanan ke Jakarta, ”Sebetulnya, menurut saya hal seperti itu tidak sehat. Mengangkat dan mengukuhkan orang lama di tempat yang sama, baik itu sebagai kasi maupun AR” begitu kata beliau. ”Tapi begitulah yang terjadi, Pak” jawab saya waktu itu.

Dulu ketika saya mengabarkan modernisasi yang dibarengi dengan remunerasi akan segera dipercepat dan meluas ke MA dan BPK, istri saya hanya berkomentar singkat, ”Ben, bangkrut negarane” Kenapa? Karena merasa tidak layak mendapatkan gaji sebesar itu, sementara pekerjaan dan budaya kerja masih tidak seperti yang diharapkan.

Ya, apapun. Modernisasi memang harus terus bergulir. Dan ongkos yang dibayar memang begitu mahal. Setidaknya itu berlaku bagi para pelaku modernisasi yang belum mendapatkan kebijakan yang ramah dengannya.

”Kamu harus tetap semangat” begitu kepala seksi menanggapi kegundahan saya di emailnya. Kalimat yang sama, yang juga saya dapatkan dari seorang penggagas modernisasi dulu saat saya mengajukan protes saya kepadanya.

Selalu ada sisi positif

Dalam kepasrahan saya, saya selalu mencoba untuk mengais hikmah dan pelajaran. Ada jeda dan rentang waktu yang harus selalu kita isi dengan karya dan amal. Pun dalam sudut-sudut sepi kita.

Sebuah kerja dan amal akan sempurna hanya jika disertai dengan pengorbanan dan keikhlasan. Saya menjadi terinspirasi dengan amal seekor kuda. Dengan kaca mata yang menghalangi dia melihat kiri dan kanan, dia akan berlari dan berlari terus mengikuti perintah tuannya. Kaca mata itu bagi saya adalah kaca mata ikhlas. Dan terus berlarinya dia adalah bentuk pengorbanan kita kepada Rabb kita.

Semoga Dia yang Maha Mendengar dan Menatap, mengampuni dan merahmati langkah-langkah kita semua. Sertakan selalu saya dalam doa-doa kalian.

Masker

Berikut ini adalah tulisan teman saya :

Saat saya mengikuti diklat SAM (atau diklat Pra-Modernisasi, saya lupa) jargon yang diusung para trainer adalah “lebih baik kita segera berubah sekarang daripada nanti di-ubah orang lain” (tentu kata originalnya lebih baik).

Paradox of change

Ini yang perlu kita takutkan, pada saat perubahan harus dilakukan, kita merasa tidak ada kebutuhan sama sekali, tetapi pada saat ada tuntutan untuk berubah, tenaga kita telah habis, kita sudah tidak mampu berbuat apa-apa, ironis. Sekarang kita tanya pada diri kita, apakah kita mau berubah atau tidak mau berubah? kalau jawabannya mau berubah, apakah spirit-nya karena merasa harus berubah ataukan karena ada tuntutan untuk berubah ?.

Sebelum melihat didalam, saya ajak anda untuk melihat keluar sana-tetapi tetap di Republik ini-, betapa setiap kerumunan mampu memporak porandakan sistem yang sebenarnya sudah kita buat dan sepakati untuk dijalankan bersama, sebut saja contoh : korban meninggal semifinal liga Indonesia, korban kepanitiaan konser beberapa grup musik, kasus BLBI dan aliran dana BI (lembaga superbody yang makin gagah dengan kekuatan Undang – undang No.3 Tahun 2004), banjir dan longsor diberbagai daerah (yang memang karna ulah tangan-kerumunan-manusia).

Sekarang mari kita lihat kedalam, apakah institusi yang terdiri dari berbagai kerumunan ini masih memiliki idealisme kuat dan utuh sehingga kita bisa melihat alur dan gerak sistem yang membawa kita pada perubahan-sebagai pertanda kehidupan kita-secara jelas ? sebenarnya perlu penelaahan lebih dalam untuk mengukur idealisme yang ada di mindset penghuni institusi ini, tapi untuk mempermudah pengukuran tersebut kita lihat saja dari beberapa opsi jawaban atas pertanyaan tentang “Apakah saudara melihat dengan jelas perubahan yang ada di tubuh Departemen Cq. Direktorat ini ?” :
Jawaban 1 : ya, saya melihatnya dengan jelas dan utuh karena saya tahu apa yang harus dan tidak harus saya kerjakan, saya tahu persis apa konsekwensi-nya bila saya hanya mengakali sistem ini, saya tahu apa yang akan saya dapat sebagai imbalan atas apa yang saya perbuat dan saya juga tahu apa yang akan saya terima karena saya tidak mengerjakan sesuatu. Ini jawaban mudah untuk mengawinkan antara Modernisasi, Kode Etik dan remunerasi.
Jawaban 2 : tidak, apa yang saya lihat masih buram, saya belum jelas kemana saya harus bergerak tapi saya yakin saya akan di bawa ke arah yang lebih baik.
Jawaban 3 : blank, saya tidak tahu apa-apa, saya hanya ikut saja.
Jawaban 4 : saya tidak perduli..
Jawaban 5 : saya pesimis, apakah kita bisa..
Jawaban 6 : paling ujung – ujungnya sama aja kayak dulu…

Salah persepsi ataukah salah orientasi
Saya yakin banyak dari teman – teman kita yang sudah lama merindukan perubahan ini sama seperti saya meyakini bahwa banyak dari rekan kita yang sudah merasa nyaman dengan keadaan sebelumnya dan merasa terusik dengan perubahan ini, ada segudang teori untuk keyakinan ini, tapi yang saya fahami adalah bahwa keyakinan merupakan sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar ….

Hidup ini bukanlah saklar yang hanya ada tombol ‘ON’ dan ‘OF’, terang dan gelap dapat terasa seketika, orang akan tidak terasa sudah berjalan ditempat gelap dalam kurun sekian tahun padahal tadinya dia orang ‘suci’ dan bermoral, begitu sebaliknya, (walau konon lebih sulit) bila kita hati-hati dengan langkah kita maka idealisme akan tetap terjaga.

Persepsi yang terbangun dikepala saya dengan gerakan perubahan ini bisa saja utuh diawalnya, tapi jelas yang tampak dimata saya sekarang adalah kita mulai merasa melangkah menjadi ‘kapitalis yang sopan’, kata-kata modernisasi dan remunerasi cenderung dijadikan kunci untuk membuka brankas keuangan Negara yang sebenarnya masih dipertanyakan kemandiriannya.Dan kode etik dijadikan landasan mengkebiri moral yang memang sudah lama hilang.

Pernahkah anda seperti saya yang bersemangat sekali saat menyambut modernisasi namun kehilangan power di tengah jalan dan sama sekali tidak bisa bergerak lagi ? itu karna ‘protol’nya persepsi yang sudah terbangun

Eman Mulyatman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar