Rabu, 28 Mei 2008

Akhirnya Saya Menyerah

Biasanya, sangat mudah bagi saya untuk memutuskan hal ini. Tapi untuk kali ini, ada nuansa lain yang begitu menggoda. Begitu setidaknya yang menari-nari dalam benak pikiran saya. Barang kali karena aura jihad siyasi yang semakin dekat, ikut membuat ritme dalam jantung saya mulai mengalami akselerasi luar biasa.

Sudah sejak dua minggu yang lalu saya mencoba memantabkan niat, untuk mengikuti kegiatan mukhoyam -acara kepanduan yang berupa camping, out bond, long march, sholat malam dan semacamnya- yang diselenggarakan teman-teman wilayah DKI Jakarta di Bumi Perkemahan Cibubur. Pendeknya, kegiatan ini meliputi olah fisik, intelektual juga ruhaniyah kita.

Hingga keberangkatan ke ibukota ahad kemaren, saya masih optimis bisa memantabkan hati. Kaos, topi dan rompi khusus tak lupa telah saya masukkan dalam tas saya. Kepada teman-teman seperjuangan di kereta api pun saya mencoba meyakinkan mereka bahwa saya akan ikut andil dalam acara tersebut. Itu artinya, saya tidak akan pulang ke Jogja akhir pekan ini! ”Tenane...!” begitu ledek teman satu kost saya.

Tak kurang-kurang, Istri pun ikut mendorong untuk tidak pulang saja dulu dengan alasan agar bisa istirahat. Namun ketika kemaren saya gambarkan kegiatan yang marathon dari kamis malam hingga ahad siang/sore (meski kalaupun saya jadi benar-benar ikut andil, paling mungkin berangkat adalah jumat malam), istri mulai kawatir karena adanya keterbatasan fisik saya. Ah, ini mulai membuat peta kekuatan dalam hati saya, antara tarikan untuk berangkat mukhoyam dan tarikan untuk pulang ke Jogja menjadi makin mendekati seimbang. Sama kuatnya !

”Bi, besok sabtu ahad aku mau persahad” begitu anak sulung saya mengabari saya saat saya telepon kemaren sore. Persahad adalah perkemahan sabtu ahad. ”Ya, tempatnya di mana?”. ”Ndak tahu, mungkin di sekolahan.” begitu jawabnya. Biasanya kalo dia persahad, malam ahadnya saya dan istri suka menjenguk dia ke perkemahannya. Sekedar memastikan bahwa dia memang benar-benar menikmati kegiatan tersebut. Belum lagi laporan istri saya kemudian, ”Tadi Ghifar tetap ndak mau sekolah...” Yah, anak saya yang bungsu itu memang sedang ada ’masalah’ dengan sekolahnya. Sudah dua pekan dia mogok sekolah. Menurut informasi yang dikumpulkan istri saya, guru yang kebetulan mengampu kelas anak saya pendekatannya kurang cocok dengan style anak saya itu. Pendekatan yang sedikit menggunakan bahasa kekerasan, meski sekedar kekerasan verbal atau isyarat. Sedikit banyak, cerita-cerita ini membuat saya semakin termangu-mangu.

Hingga tadi malam, setidaknya saat bertemu dengan teman-teman di Pancoran, saya masih mencoba untuk optimis bisa berangkat mukhoyam. Apalagi ketika ustadz mengatakan, ”Berangkat dong, wong akh keri lagi tumbuh-tumbuhnya nih” begitu kata beliau ketika ada teman yang mempertanyakan kepastian keberangkatan saya. Pun ketika saya memboncengkan beliau bermotor ria di jalanan dekat Makam Kalibata dan beliau bertanya ”Gimana punggung antum?”. ”Alhamdulillah ustadz, sejauh ini tidak ada masalah lagi” begitu jawab saya. Meyakinkan kalo kegiatan mukhoyam tidak akan memberatkan saya.

Pagi-pagi tadi, menjelang sholat subuh seorang teman saya sms. ”Mau beli tiket ahad senja solo nih, Antum ikut gak? Masih gojag-gajeg mutunya?” Wah, serangan fajar nih, pikir saya. Dan saya masih berani menjawab, ”Ditinggal aja deh, tarikannya agak kuat ke arah ikut.”

Saya memang bukan tipe orang yang bisa berlama-lama jauh dari keluarga. Bagi saya, keluarga adalah tempat yang luar biasa untuk mengekspresikan diri saya. Apalagi bagi saya, sebisa mungkin masa-masa kecil anak jangan sampai terlewatkan. Masa-masa inilah waktu utama untuk membangun kedekatan dengan mereka, sebelum kelak mereka siap menjadi pribadi-pribadi yang mandiri.

Menyusul sms teman saya, sehabis sholat subuh istri saya sms, ”Mas, kalau mukhoyamnya berat gak usah ikut aja...” Hmm, godaan. Sesampai di kantor, sesaat duduk di depan meja kerja, teman yang baru penempatan di ibukota setelah kuliah S2 UGM sms, ”Ente pulang gak?” Duh,.... Belum lagi sepenuhnya bisa berpikir, istri sms lagi, ”Kalo mangu-mangu gak usah ikut aja..” Weleh weleh, betul-betul serangan yang bertubi-tubi.

Akhirnya di tengah-tengah kegamangan itu saya coba mencari kemantaban dengan sms ke teman satu kost yang juga merencanakan akan ikut mukhoyam. ”Jadi ikut MUTU?...” Tapi bersamaan dengan itu saya pun iseng sms ke bos kasubag umum pancoran, ”Mas, bsk jumat jadinya naik apa?” Ternyata respon yang terakhir lebih cepat. ”Rencana naik gajayana, ikut po? Ini aku lagi di lapangan banteng. Kalo iya ntar tak sekalian beli.” Waduh. Gagap saya menjawab teleponnya, mencoba berpikir cepat. Harus ada keputusan segera. ”Yo wis, ikut...” Inilah ending dari ketermangu-manguan saya dua pekan belakangan. Dan akhirnya memang, saya harus menyerah...

Menyerah untuk tidak bisa tidak pulang akhir pekan ini. Adzan dhuhur pun telah terdengar dari masjid di sebelah gedung menara jamsostek ini. Ada pengajian ustadz Arifin Ilham ba’da sholat Dhuhur. Lebih dari cukup untuk membantu menenangkan hati. Alhamdulillah. Ya Allah, ampuni ketidakberdayaan hamba-Mu ini.

Jangan salahkan
Jika aku tidak bisa berlama-lama dari kalian
Karena memang di sini
Di dada ini
Selalu dipenuhi rasa cinta dan rindu

Jakarta, 28/05/08

Tidak ada komentar:

Posting Komentar