Selasa, 13 Januari 2015

Deal With The Pain : A Tribute for Scolioser, Teruslah Semangat Temans…

Bagi para scolioser (dan pemilik kelainan tulang punggung lainnya), back pain (nyeri punggung, pegal, dan sejenisnya) seakan menjadi menu keseharian mereka. Jika malam mulai memeluk, biasanya rasa itu semakin datang terasa. Aktifitas seharian memang tidak bisa selalu dikontrol agar ramah terhadap kondisi tulang punggung mereka. Di awal-awal rasa sakit itu muncul, sangat mungkin menimbulkan rasa frustasi. Karena hanya ketika tidurlah rasa itu seolah hilang.

Aku bersyukur di awal-awal kesadaran adanya kelainan itu, dan di tengah waktu memaknai dan meresapi rasa sakit itu, aku dipertemukan dengan teman-teman yang mempunyai keistimewaan yang sama itu. Meskipun hanya di media maya. Aku memang menganggap itu sebagai kelainan, tapi sekaligus juga keistimewaan di sisi lain. Karena di tengah keterbatasan fisik dan rasa sakit yang muncul setiap saat, memunculkan pribadi-pribadi yang istimewa.

Aku agak lupa nama inisiatornya waktu itu, tapi akun gtalknya masih tersimpan di kontakku dengan alamat paramita.ria@gmail.com. Gadis muda ini mahasiswi di Universitas Jenderal Soedirman kalau tidak salah ingat. Perkenalanku dengan anak ini ketika aku mulai intens hunting permasalahan seputar skoliosis. Di blognya waktu itu, ia bercerita tentang skoliosisnya. Dan itu mengundang banyak komentator termasuk aku.

Dari situlah kemudian terjadi dialog antara kami para pemilik kelainan dan sekaligus keistimewaan tulang punggung ini. Aku sengaja berusaha menghindari kata penderita kelainan, karena kata itu mengandung asosiasi dan menebarkan aura yang negatif, yaitu penderitaan. Seolah-olah kemudian kelainan tulang itu membuat kami menderita dan tak bisa berbuat dan berkarya banyak. Tidak. Kami harus membuktikan keterbatasan itu tidak akan membatasi kami.

Maka ide paling sederhana dan orisinil waktu itu adalah, sebagai sesama bloger, kenapa tidak kami kumpulkan saja semua tulisan kami tentang kisah scoliosis dan membukukannya? Bukankah kalau dibukukan bisa sebagai sarana untuk saling menguatkan dan di sisi lain bisa untuk warning bagi orang lain agar tidak mengalami hal serupa. Atau setidaknya kalau ada yang mengalami, ia segera bisa menyadari dan melakukan tindakan perbaikan seperlunya?

Maka proyek itu pun berjalan. Dimotori Mbak Paramita tadi dan kawan-kawan, maka lahirlah sebuah buku yang kami cetak secara mandiri juga. Aku memang tidak ikut menyumbang tulisan dan tidak ikut proses penyusunan dan pencetakannya sampai selesai. Tapi aku intens mengikuti semuanya. Termasuk ketika aku minta dikirimkan 2 buah buku setelah selesai tercetak. Satu untuk koleksiku dan satu lagi untuk aku hadiahkan kepada atasanku, yang kebetulan seorang ibu.

Ada satu judul tulisan dalam kumpulan tulisan itu yang kemudian disepakati menjadi judul buku itu, “Deal with the Pain”. Perjalanan dan perenungan panjang kami, mengantarkan kami pada satu kesimpulan bahwa rasa sakit itu akan selalu ada selama kami hidup kami. Selama tindakan operasi untuk mengoreksi kebengkokan tulang belum dilakukan, maka ia akan menemani hari-hari kami. Maka tidak ada kata lain selain, kami harus berdamai dengannya.

Aku cukup terhibur dengan motto teman-teman mudaku itu. Mereka rata-rata perempuan, masih muda, dan masih panjang langkah-langkah mereka. Tapi motto itu seakan menjadi pelecut mereka untuk tidak diam karena rasa sakit itu. Berdamailah. Dan lanjutkan hidupmu. Masih banyak hal yang bisa dilakukan selain meratapi rasa sakit itu. Lupakan rasa itu. Seolah-olah mereka saling meneriakkan kata-kata itu, saling menyemangati. Tiba-tiba hari ini aku ingat mereka.

Kalimat itu pun terus menjadi bagian dari keseharianku, sampai detik ini. Kalimat ini selalu menginspirasiku dalam banyak hal. Tidak semua hal dalam kehidupan ini akan sesuai dengan harap dan keinginan kita. Jika kita tidak cepat melakukan olah rasa, maka tunggulah hatimu akan patah berkeping-keping menahan sakit karena putusnya harapanmu. Maka aku kembali ingat nama-nama tadi, aku ingat satu nama lagi, Hanum. Tulisan mereka selalu menginspirasiku.

Dalam satu diskusi di grup wa-ku tadi, ada yang menyebut nama Ust. Zuber. Tiba-tiba aku rindu dengan beliau. Aku rindu nasehat-nasehat beliau. Janjiku untuk mengunjunginya jika aku ke Semarang belum pernah tertunaikan. Aku cari kontaknya di wa, segera kutuliskan untuk beliau beberapa kata, “Assalamu’alaikum ustadz.  Afwan, tiba-tiba ana ingin menyapa Njenengan. Semoga ustadz dan keluarga sehat semua dan sll dalam keberkahan iman. Obat kangen saja. Nuwun.”



@ltdua 13Januari2015, selamat melanjutkan hari


Tidak ada komentar:

Posting Komentar