Jumat, 30 Januari 2015

Laki-laki harus Kuat Logikanya

Ketika SD kelas enam, kami diberi tugas untuk menuliskan karangan tentang cita-cita kami. Kelompok belajarku yang terdiri 4 orang, aku, Wid, Tri dan Tejo malam harinya segera menggelar rapat paripurna untuk merumuskan tugas itu. Malam itu rumahku dipakai rapat sebuah organisasi pemuda di desaku, dimana kakak perempuan pertamaku sebagai ketua di organisasi itu. Aku dan kelompok belajarku, belajar di bilik rumahku yang lain. Dengan penerangan seadanya.

Salah seorang pengurus organisasi itu, sebut saja Mas Gepeng, ikut nimbrung di rapat paripurna kami. Ia kuliah di IKIP Yogyakarta (sekarang UNY) seingatku. Tanpa kami minta, maka kemudian ia diktekan untuk kami kalimat demi kalimat. Cita-citaku, itu judul karangannya. Kalimat pembukanya aku masih ingat, tidak lazim untuk seusia kami. “Sebagai seorang manusia…” Karena, biasanya anak-anak ketika membuat karangan, dimulai dengan kalimat, “Pada suatu hari…” Hee..

Kami menulis sama, tinggal mengganti point cita-cita sesuai dengan imaginasi kami masing-masing. Aku lupa dengan cita-cita ketiga temanku, tapi di karanganku waktu itu aku mantab menulis: Guru Matematika. Hingga SMP aku masih bertahan dengan cita-cita itu. Di SMA kelas 1 pelajaran BP mengharuskan kami mengeja cita-cita kami dan mencantumkan tokoh idola, aku revisi cita-citaku: Dosen Matematika! Dan foto Albert Enstein menempel dengan gagahnya di buku BP ku.

Bi, Om Yuli (Adikku) itu Perikanan ya? Mbak Diah (anak perempuan pertama kakak pertempuan pertamaku) itu Pertanian ya? Kalo om Nawan (adikku)?” Tanya sulungku saat aku antar membeli mie ayam untuk dia dan adiknya tadi malam.

Yup, Om Nawan Kesehatan Hewan” Jawabku.

Ada beberapa dialog kami sambil menunggu mie ayam matang. Tentang SNMPTN jalur undangan, tentang SBMPTN, tentang STAN dan juga tentang penerimaan PNS dari alumni PTN disandingkan dengan dari alumni STAN. Yang membuat aku mulai berpikir tentang orientasi sulungku adalah ketika ia banyak bertanya tentang Akuntansi.

Akuntansi UI bagus ya bi?”
“Bagus, sangat bagus. Unair juga bagus. Unpad juga.”
“Kalau Akuntansi UGM?”
“Bagus juga, cuma menurutku masih dibawah UI.”

Dulu ketika minat penjurusan IPA atau IPS, meskipun ia cenderung ke IPS ia meminta persetujuan dan pertimbanganku. Aku jelaskan bahwa jika memilih IPA itu apa lebih dan kurangnya, dan memilih IPS itu apa lebih dan kurangnya. Dan aku memberikan gambaran riil dari pengalamanku. Bahwa seorang dengan background IPA biasanya lebih bisa survive dan bisa beradaptasi secara baik meskipun akhirnya ia harus banting setir di dunia IPS. Jika sebaliknya, mungkin berat.

Akhirnya sulungku memang memilih masuk ke jalur IPA. Namun di jalur lintas minat, ia tetap mengambil Akuntansi sebagai mata pelajaran pilihannya.

Laki-laki harus kuat logikanya. Maka engkau harus dididik di dunia yang menguatkan logikamu, nak.” Gumamku.

Sebagai orang tua, mungkin aku punya obsesi. Mungkin aku ingin ia melanjutkan salah satu dari dua obsesiku yang telah melenceng jauh dari cita-cita semula sebagai seorang dosen. Di UMPTN aku mantab mencantumkan 2 pilihan. Teknik Elektro UGM dan Teknik Elektro ITS. Di ujian STAN mantab aku tulis Akuntansi. Tahun 1994 pengumuman UMPTN bersamaan dalam satu hari. Pagi itu di koran aku menemukan namaku nebeng di Teknik Elektro ITS, siangnya aku menemukannya di STAN.

Dalam hati kecil, mungkin aku ingin sulungku masuk kedokteran atau teknik misal. Tapi bukankah nanti yang menjalani dunianya bukan kita? Maka aku hanya bisa berdamai dengan kembali ke prinsip dasarku, “Laki-laki harus kuat logikanya, nak.” Maka aku lebih tenang jika sulungku dididik di dunia eksakta. Akalnya harus kuat. Kemampuan logikanya harus mengakar. Meskipun nantinya di perkuliahan dan dunia kerja berkecimpung di dunia non eksakta.

Jadi milih apa, le?” tanyaku waktu itu. “IPA, bi.” Jawabnya.

Baik, pilihan telah sulungku tetapkan. Aku hanya bisa mengawalnya. Maka kalimat penegasanku adalah “Aku hanya ingin memastikan kemampuan logikamu harus kuat. Setelah itu, engkau akan melirik Akuntansi atau yang lain meski bukan  eksakta, itu urusan mudah bagimu, nak.” Hidup ini akan terus mengalir. Menjadi saksi langkah-langkah yang telah kita torehkan di setiap penggalan waktunya. Semoga kita selalu dimudahkan.


@Yogya, 29Januari2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar