Senin, 05 Januari 2015

Kacamata: Tentang Makna Keberadaan dan Keberartian

Untuk ke sekian kalinya malam ini benar-benar aku hanya bisa memejamkan mata kurang lebih satu jam. Tiba-tiba saja alarm sudah berbunyi memanggil-manggil. Pukul 03.30. Setengah gontai aku bergegas keluar kamar. Ternyata sulungku sudah terbangun menonton tayangan sepak bola tim kesayangannya, Barcelona. Kali ini lawannya adalah Real Sociedad. Sekilas aku lirik skornya, 1-0 untuk Real Sociedad. Yes! Barca kalah. Terus terang Real Madrid adalah tim yang aku dukung. El Barca adalah musuh bebuyutan El Real. Fyuuuh.. J

Kuambil sepiring nasi merah. Di meja makan kulihat masih ada potongan kecil daging ayam goreng sisa semalam. Alhamdulillah. Segelas air putih dan botol madu pun ikut bersanding menemani. Aku ingat, Real Madrid bukankah telah bertanding lebih dulu tadi malam melawan Valencia? Berapa skornya? Ah.. lupakan sementara. Aku harus segera melahap menu pagi ini dan memanfaatkan sepertiga waktu yang tinggal sedikit lagi. Tiga butir obat ikut mengalir ke perutku. Dua semprotan Nasal Spray pun menyapa hidungku. Bismillah.. semoga menjadi hari yang ringan.

Sesaat kemudian adzan telah berkumandang. Ketika melangkahkan kaki ke masjid, dari jauh tampak olehku seseorang berjalan agak setengah tertatih. Memoriku langsung berkata, “Mas Sardi!” Alhamdulillah. Sudah lama karibku, Mas Samidi yang tidak lain adalah kakak dari Mas Sardi ini meminta doa agar kakaknya segera mau ke masjid. Lain waktu ia menitipkan pesan agar saya ikut menasehatinya. Maka penampakannya pagi ini sungguh merupakan hal yang menggembirakanku. Karena Mas Sardi ini telah berbulan-bulan keluar masuk rumah sakit.

Melayangkan pandangan ke arah timur di perempatan ujung desaku ini, kutemukan sosok lain yang juga mengagumkanku. Mbah Udi kakung. Usianya mungkin di kisaran 80 tahun. Tapi belakangan ia sangat rajin sholat subuh di masjid. Ya. Meski hanya sholat subuh. Tidak pernah tertinggal. Duluuu.. aku ingat ada Mbah Kasmo kakung yang di usia senjanya sangat rajin sholat subuh. Yang aku tahu, hingga sakit sepuh menghentikannya dari rutinitas itu dan tidak berapa lama kemudian beliau tutup usia. Semoga menjadi bekal yang indah buat beliau.

Sengaja ketika sholat hendak didirikan aku mendekati Mas Sardi dan menyalaminya. Menariknya untuk berdiri sholat di sebelah saya. Di belakang imam. Keinginanku adalah, agar nanti selepas sholat masih bisa menyapanya beberapa saat. “Aku wingi wis meh mati pak.” Itu kalimat pertama yang ia ucapkan ketika aku sapa. Aku hanya tersenyum. “Lha gimana, sudah baikan kan?” tanyaku. “Ini kemarin saya baru keluar lagi dari rumah sakit. Masa 6 bulan 7 kali masuk rumah sakit.” Aku hela nafas. Setelah sedikit ngobrol ini itu, “Minta doanya ya.” Pamitnya sambil menyalamiku.

Aku lanjutkan keterpekuranku beberapa saat sampai terlihat warna agak merona kuning di ujung timur sana. Setidaknya sudah beberapa minggu terakhir aku menikmatinya. Aku mencoba ingin selalu menyapa pagiku dengan rutinitas seperti itu. Aku lihat Pak Amin, salah satu penjaga masjid ini, mulai membuka mushaf. Di teras kulihat, Pak Slamet yang merupakan musafir dari Muntilan yang belakangan kita daulat juga untuk ikut menjaga masjid, lirih masih kudengar dzikir kas NU nya. Beliau jika malam hari tidur di teras masjid ini. Aku selesaikan ma’tsuratku.

Pagi ini adalah rutinitas awal pekan. Anak-anak mulai sekolah kembali hari ini. Kemarin siang anak gadisku aku antarkan kembali ke pondoknya, selepas mengantar istri ke bandara. “Ndhuk, gek ndang istirahat ya. Jangan lupa makan. Jaga kesehatan. Pekan depan abi tengok kalau tidak sabtu ya ahad.” Pesanku sambil kucium keningnya. “Sama umi gak?” tanyanya. “Yo ndak, kan baru berangkat tadi. Biar istirahat dulu di sana.” Kami berpisah di halaman pondok itu. Aku sempatkan menolehnya lagi, Rupanya ada seorang ibu yang bertanya-tanya kepadanya. “I love u, ndhuk.” Ucapku lirih.

“Mas Ammar, tadi waktu ke masjid lihat abi pakai kacamata tidak?” “Ghifar, sempet lihat kacamata tidak barusan?” semua kebagian pertanyaan. Pagi yang heroik. Sudah lebih dari tiga kali aku pelototi tiap sudut ruang di kamar tidur, kamar tamu, rak-rak buku, ruang tengah bahkan sampai ke kamar mandi. Tidak aku temukan kacamata itu. Garasi dan mobil pun tak luput dari sapuanku. Nihil. Mataku sudah mulai agak berat terasa. Blank. Benar-benar tidak kuingat kapan terakhir aku pakai kacamata. “Yo wis bi, pakai motor aja. Gak jadi pakai mobil.” Kata ragilku.

Harapanku satu-satunya adalah masjid. “Mbak Hen, nanti kalau bersih-bersih, tolong ya sambil carikan kacamataku.” Pesanku sambil meninggalkan rumah. Maka sesampai di masjid, pandanganku langsung menyapu semua sisi ruang utama. Tidak ada. Langsung aku menuju mimbar. Begitu pandanganku melongok, ternyata kacamata itu dengan manisnya tergolek di antara tumpukan buku dan peci. “Jiaaah… rupanya kamu di sini.” Bahkan sampai saat ini pun aku tak ingat kapan kacamata itu kupakai sehingga bisa sampai tertinggal di sini.

Pagi ini aku berangkat pagi. Sepagi mungkin yang aku bisa. Cukup banyak alasan kenapa aku harus berangkat sepagi mungkin. Apalalagi untuk pagi ini. Meski sebetulnya kasihan juga ragilku dia cukup kepagian ketika sampai di sekolahnya. Tapi rupanya dia menyukai ritmeku. Pagi ini kami sampai di halaman sekolahnya pukul 06.20. “Kepagian ya?” kataku. “Biasa  bi. Malah enak, santai.” Bagus nak, kamu telah terbiasa dengan ritmeku. Maka akhirnya aku pun sampai kantor pukul 06.30. Satu jam sebelum jam resmi dimulai. Aku buka berita olah raga, Madrid kalah 2-1 dari Valencia. Lengkap sudah. Hee..

Titik demi titik kejadian malam hingga pagi ini mengusikku. Sesuatu bisa saja datang dan pergi dalam hidup kita tanpa kita bisa mencegahnya. Ada saat kebersamaan, ada saat menjauh, bahkan mungkin ada saat kita harus merelakannya benar-benar pergi dari kita. Sesuatu itu bisa saja berupa waktu, usia, kebersamaan, sahabat, benda yang kita miliki bahkan termasuk ujian berupa rasa sakit yang kita temui. Terkadang, kita baru bisa merasakan betapa kehadiran sesuatu itu sangat berarti bagi kita, manakala sesuatu itu dicabut dari akar sanubari diri kita.

Titik demi titik itu terus mengusikku. Hingga aku torehkan dalam tulisan ini. Setiap titik membawa energi dan emosi rasa yang berbeda. Namun aku yakin ada saling keterkaitan di sana yang membentuk satu alur cerita. Sebagaimana semua fragmen itu bisa menjadi pelajaran bagiku. Tentang makan keberadaan dan keberartian kita. Sejauh apa orang bisa merasakan dan menerima kehadiran kita dalam hidupnya. Juga sejauh mana kita berarti bagi kehidupan seseorang di sekitar kita. Aku merasa masih seperti debu, di hamparan luas samudera kehidupan ini. Duh Gusti…


@ringroad utara yogya, 5januari2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar