Selasa, 06 Januari 2015

Kepingan-kepingan Memori yang Mengundang Makna

Persis seperti hari kemarin aku menjejakkan diri di kantor ini. 07.30. Sepanjang perjalanan tadi memoriku berputar. Seperti kaset yang memutar kembali, mengalirkan cerita-cerita lama yang tiba-tiba bermunculan seperti tunas-tunas yang tumbuh di musim hujan.

Aku masih ingat. Aku masih ingat betul dialog dua anak kecil yang sangat-sangat naïf dan lucu, kira-kira 33th yang lalu. “Kamu ikut sakit gak kalau aku tertusuk duri?” tanyanya. Aku (kecil) menjawab singkat, “Iya.” “Aku juga ikut sakit kalau kamu tertusuk duri.” Lanjutnya. Di depan rumahku dulu ada pohon jeruk yang menjulang tinggi. Rindang. Oleh orang tuaku, di bagian pangkal cabang batang yang kokoh diikatkannya tali menjuntai, yang difungsikan sebagai mainan ayunan bagi anak-anak kecil seusia kami waktu itu.

Aku masih ingat. Aku masih ingat betul ketika nenekku (dari ibu) yang sekarang usianya hampir 98 th dengan agak terisak, memelukku sambil menggenggamkan selembar uang ke tanganku. Dua puluh tahun lalu saat aku berpamitan hendak kuliah ke Jakarta. “Kamu nanti di sana sendiri, sing ati-ati yo le.” Setahun kemudian ketika liburan dan aku berkunjung ke beliau, beliau sambil tergelak dengan mata berkaca berkata, “Ri, dulu itu aku salah kasih kamu uang. Harusnya 5 ribu kok yang keambil 500.” Aku membesarkan hatinya, “Ora popo, Yung.”

Aku masih ingat. Aku masih ingat betul ketika aku pertama kali berkenalan dengan seorang  yang belum pernah sekalipun aku bertemu dengannya sebelumnya. Menjelang  17 tahun lalu. Sendirian. Aku berkesan dengan bagaimana ia melafalkan kata, “InshaAllah..” Beda. Terasa aneh, tapi nyaman di telinga. Kata itu terus bergema waktu itu, hingga berhari-hari. Seakan belum pernah mendengar pelafalan kata itu sebelumnya. Bahkan sampai sekarang pun aku masih seperti mendengar kalimat itu lagi jika ia, istriku, mengucapkannya kembali.

Aku masih ingat. Aku masih ingat betul, ketika 16 tahun lalu bibiku setengah lirih berujar, “Kowe engko terus lali karo aku, Ri?” Waktu itu aku meminta ijin untuk menikah. Sejak kecil aku tidur dengan beliau. Beliau tinggal bersama nenek (dari bapak). Beliau janda beranak satu. Anak satu-satunya beliau meninggal ketika aku masih kelas 3 SD. Aku ingat malam itu beliau meraung-raung, “Aku engko terus melu sapa?” Sedih sekali. Bapakku sebagai adiknya menenangkan. Anak beliau tersebut meninggal ketika masih STM wkt itu.

Sejak itu pun, tidurku masih terus menemani beliau dan nenek hingga SMP, ketika beliau menikah lagi dengan seorang duda dari desa sebelah. Selama SMA setelah pulang sekolah pun, aku masih sering bermain ke rumah beliau. Aku menjadi keponakan kesayangannya. Saat aku SMA, suaminya meninggal dunia. Maka ketika kuliah, kemudian lulus dan aku memutuskan untuk menikah, beliau keluar ucapan itu. Mungkin terasa nggrantes, mungkin. Beliau meninggal tahun 2004 an karena kanker darah. Allahummaghfirlaha warhamha wa’afihi wa’fuanha.

Aku masih ingat. Aku masih ingat betul ketika tujuh tahun yang lalu seorang sahabat saya di Jakarta, sebut saja Mbak Etha, sambil melotot dari meja kerjanya ia setengah berteriak, “Maskeeeer, beneran kamu leo. Gak banget deh. Kamu leo yang murtad. Gak ada gaharnya sama sekali.” Aku hanya tersenyum mendengar ocehannya. Ia memang zodiac maniac. Terkadang dia suka ramal meramal melalui garis tangan teman-temannya. Dulu aku pernah dipinjaminya sebuah buku, The Secret karya Rhonda Byrne. Cukup menghibur.

Akan selalu ada kepingan-kepingan puzzle masa lalu yang mungkin terekam dalam memori kita. Ada kenangan indah dan manis, ada juga yang buruk. Ada cerita tentang dendam, ada juga tentang kasih sayang. Ada memori yang mengharu biru, di sisi lain ada juga yang gegap gempita menggembirakan. Ada yang berwarna-warni bak pelangi, tapi tak sedikit yang abu-abu dan kelam. Maka pilihan kita adalah kepingan puzzle manakah yang akan kita pahat kuat dalam jiwa kita. Pahatan-pahatan itu lah yang nanti akan mewarnai kehidupan kita ke depan.

Jika pahatan-pahatan kenangan indah dan manis, cerita tentang kasih sayang, memori yang menghidupkan jiwa, dan warna-warna pelangi yang lebih banyak kita pahat kuat, maka yakinlah kehidupannya akan terasa lapang dan menentramkan. Perbanyaklah pahatan-pahatan itu. Bukan kita tidak membutuhkan pahatan-pahatan yang buruk dan mengharu biru. Bukan pula kita mengabaikan cerita-cerita yang kelam dan membawa dendam. Mungkin perlu, tapi jangan banyak dan jangan pahat terlalu erat. Biarkan waktu menghapusnya perlahan.

Sungguh, pahatan-pahatan tentang dendam, tentang hal-hal buruk dan juga hal-hal yang kelam akan meredupkan dan membebani jiwa. Membuat masa depan terasa berat karena sarat beban. Maka teman, pilih yang manakah engkau?

@keterpekuran diri yk 06/01/2015


Tidak ada komentar:

Posting Komentar