Rabu, 21 Januari 2015

Kontemplasi Perjalanan

Sabtu dini hari, 16 Mei 2009, sesaat setelah lepas tengah malam.

Mungkin sekitar jam 2.00 an. Aku tidak tahu persis. Semua penumpang kereta ini dibuai lelap. Tiba-tiba, “Braaaak…..!” Terjadi goncangan hebat, suara besi beradu dengan besi berdecit hebat tanda telah dilakukan pengeremen secara keras dan mendadak. Menciptakan aroma hangus. Tiba-tiba sesaat kemudian udara di gerbong menjadi memutih, seolah asap yang pekat menutup pandanganku yang masih nanar karena mendadak tergagap dari lelapku.

Gelap. Yang ada dalam pikiran para penumpang termasuk aku adalah segera keluar dari gerbong kereta. Sesuatu telah terjadi. Dan bau gosong itu sangat mirip bau sesuatu yang terbakar. Dan sesuatu yang gelap pekat itu tentu asap. Maka kami berebut keluar. Saling mencoba untuk tetap tertib di tengah kepanikan itu. Kereta telah berhenti. Entah dimana, di luar pun tampak gelap. Dan kami harus meloncat cukup tajam ketika keluar dari gerbong kami.

Beberapa saat kemudian aku baru tahu bahwa telah terjadi kecelakaan, kereta yang aku tumpangi, KA Senja Utama  Yogya, yang melaju kencang ke arah Yogya telah menghajar sebuah truk gandeng bermuatan 40 ton semen yang sedang melintasi pintu perlintasan Desa Sumpiuh, Banyumas, Jawa Tengah. Maka sesuatu yang pekat seperti asap tadi adalah hamburan semen dari bak truk yang porak poranda karena dihajar kereta. Baju dan rambut kami pun ikut memutih.

Lokomotif kereta ini telah rusak parah. Tidak mungkin untuk melanjutkan perjalanan sampai Yogya. Sementara belum ada informasi terang dari PT KAI akan nasib para penumpang. Maka aku dan beberapa penumpang lain, berinisiatif ke jalan raya dekat lokasi kecelakaan itu untuk mencari alternatif tumpangan ke arah Yogya. Sebuah truk pasir bak terbuka, bersedia mengantar kami sampai di stasiun Kutoarjo. Alhamdulillah. Maka kami berebut naik.

Aku lupa waktu itu mengganti ongkos 20 ribu atau 30 ribu per orang, tapi truk itu penuh. Kami semua harus berdiri di bak terbuka itu. Dan perjalanan naik truk pasir itu, di dinginnya pagi pukul 02.30 kira-kira, ditemani sang bulan yang setia memberikan cahaya redupnya, menjadi pengalaman tersendiri bagiku. Kurang lebih 2 jam perjalanan kami sampai di stasiun Kutoarjo. Lepas sholat subuh, kami melanjutkan perjalanan dengan kereta Prameks ke Yogya.

Contoh berita terkait tulisan: Klik disini

Jumat, 01 Oktober 2010. Di sore yang sungguh tampak cerah.

Saat menunggu lift turun, aku berjumpa Mas Nanang. Sesame penglajo di Jakarta, hanya dia dari Semarang sementara aku dari Yogya. Dia tersenyum dan mengajakku bersalaman. Dia kakak kelasku di STAN satu tahun di atasku. Kami memang satu lantai di gedung 27 lantai ini. Hanya kami berbeda Direktorat. Tapi aku sudah mengenalnya sejak kuliah, kebetulan masjid tempat kami sholat berjamaah sama. Hanya memang kami jarang ngobrol.

Aku lihat Mas Nanang ini tampak sangat bersemangat sore ini. “Ke Pasar Senen juga kan? Yuk naksi bareng saja.” Ajaknya.

“Boleh, mas. Tapi saya sampai Gambir saja nanti, saya berencana mobilan sama beberapa teman dari LTO.” Jawabku.

Entah, perasaanku mengatakan sore itu sangat cerah. Lalu lintas sangat bersahabat, biasanya jika Jumat sore, kemacetan parah menjadi pemandangan dimana-mana. Bahkan ketika kami menunggu taksi pun tidak butuh waktu lama, satu taksi biru kebanggaan Jakarta segera muncul dan langsung mendekati kami. Di dalam taksi pun kami tidak banyak mengobrol. Hingga kami berpisah di pertigaan bawah stasiun Gambir. Beliau melanjutkan perjalanan ke stasiun Pasar Senen.

Malam itu aku bergantian mengemudikan mobil Terios temanku. Sempat beristirahat selepas  pintu tol Cikampek untuk makan malam dan sholat jamak, aku berenam dengan teman-teman sesama pejuang keuangan negara (hehe) melahap malam melintasi batas jalanan menuju kota tercinta kami, Yogyakarta. Kira-kira jam 04 an pagi itu, ketika perjalanan kami lepas dari kota Kutoarjo seingatku, kami mendapat kabar ada kecelakaan kereta di Petarukan Pemalang.

Deg! Tiba-tiba aku ingat Mas Nanang. “Kereta apa, Mas?” tanyaku pada Kang Ish yang mendapat kabar tersebut via sms. Kang Ish ini satu direktorat dengan Mas Nanang.

“Senja utama Semarang katanya.” Jawabnya.

“Duh, Mas Nanang kan naik kereta itu. Dapat kabar tentangnya gak, mas?”

“Belum, ini lagi dihubungi dari tadi tidak bisa. Tidak aktif HP nya.”

Dari internet yang kami akses dari mobil saat itu, aku mendapat informasi bahwa kereta eksekutif Argo Bromo telah menabrak kereta bisnis Senja Utama Semarang yang sedang berhenti menunggu sinyal hijau, dari arah belakang. Aku tiba-tiba teringat lagi dengan kejadian keretaku tahun kemarin yang menabrak truk gandeng bermuatan semen. Aku banyak berdoa agar sahabat kami tersebut selamat dari kejadian itu.

Di sisa perjalanan hingga Yogya pagi itu, kami berburu informasi ihwal sahabat kami itu. Melalui berita di televisi dan internet aku tahu bahwa banyak korban yang meninggal. Menjelang siang aku mendapat informasi bahwa HP Mas Nanang ternyata tertinggal di Semarang sepekan kemarin itu. Keluarga sudah ada yang berangkat ke Pemalang untuk mencarinya. Aku masih berharap bahwa sahabatku ini sedang membantu evakuasi korban sehingga tidak bisa dihubungi.

Hingga di tengah hari, aku lupa menjelang atau selepas dhuhur hari itu, Sabtu 02 Oktober 2010, aku mendapatkan sms yang membuatku lemas. “Mas Nanang sudah ditemukan. Dia termasuk korban yang meninggal dalam kecelakaan itu.” Allahu… Tas yang dibawanya terpisah jauh saat kejadian itu. Gerbong yang dinaiki adalah gerbong belakang yang mendapat efek hantaman paling keras. Tidak ada tanda pengenal yang melekat di badan karena semua masuk tas.

Dari evakuasi pagi setelah kecelakaan itu, rupanya beliau termasuk jenazah yang tidak dikenali. Dan baru setelah keluarganya bergerilya mencarinya dari rumah sakit ke rumah sakit yang menampung para korban kecelakaan, beliau ditemukan. Pilu. Hati ini masih terasa sesak jika mengingat bagaimana sore sebelum kejadian itu, aku masih seperjalanan satu taksi dengan beliau. Maka ahad paginya, kami putuskan untuk takziyah beliau ke Boyolali.

Pagi itu kami mengantarkan sahabat kami hingga ke tempat peristirahatan terakhirnya. Selamat jalan Mas Nanang, semoga Allah mengampuni semua kesalahan-kesalahanmu, serta mengasihi dan merahmatimu di alam kuburmu. Aku makin sadar, betapa sesungguhnya maut itu begitu tipis dan lekat mengintai diri kita di setiap jenak langkah kita. Sangat dekat. Maka sudah selayaknya kita harus senantiasa mempertebal bekal.

Contoh berita terkait tulisan: Klik di sini


@cerita yang berserak, 21Januari2015

4 komentar:

  1. bahan renungan masker, bahwa maut itu sangat dekat...btw setelah di homebase jadi produktif lagi nieh blognya :D

    BalasHapus
  2. Luthfi: Hehe.. lagi terseok-seok untuk memulai menulis lagi, Fi.. Yuk kita mulai lagi memahat cerita, meski sederhana..

    Cetta R: Ehm... heehe.. apa kabar?

    BalasHapus