Jumat, 16 Januari 2015

Ikatlah Dengan Menuliskannya

“Le, aku ninggal bubur karo sayur neng kursi ya.” Dari ruang tengah, suara seorang ibu-ibu yang sangat aku kenal terdengar dari terasku pagi tadi. Pagi-pagi sekali. Aku sedang mempersiapkan ragilku untuk mandi. “Nggih, nuwun nggih, bu.” Saya coba mengejarnya dengan membuka pintu secepatnya, tapi sosoknya sudah di kejauhan. Maka aku tenteng ke dalam satu bungkusan keresek, berisi sayur satu plastik dan bubur dua bungkus. Semua masih hangat.

Ini sudah yang kedua kali pemberian di pagi buta itu dalam beberapa hari terakhir ini, dengan mengantarkannya ke teras rumahku. Pemberian secara langsung dengan mencegatku sepulang sholat subuh aku bahkan lupa menghitungnya sudah berapa kali. Kadang buah-buahan, di lain waktu lauk-pauk, dan tak jarang sekedar jajanan atau makanan kecil. Anak dan menantu beliau adalah Pembina yayasan tempat aku ikut sedikit berperan di sana dulu.

Dst.. Dst.. Dst.. (memberilah maka engkau akan mendapat lebih)

Pagi ini aku kurang antisipasi. Aku berangkat pagi-pagi seperti biasanya. Memang aku sudah memasukkan jas hujan ke dalam bagasi revo sesaat yang lalu. Tapi aku tetap kurang antisipasi. Sesampai di jalanan aspal luar desa kami, aku melihat rintik di genangan air di sawah pinggir jalan, “Lah, gerimis ya dek?” kataku pada ragilku. “Iya, ayo cepetan dikit bi. Biasanya di depan tidak hujan.” Pengalaman, memang hujan pagi kadang tidak merata.

Tapi bagiku, pagi ini aku tetap kurang antisipasi. Biasanya aku akan menatap ke langit. Jika mendung pagi tampak merata dan hendak runtuh, maka aku akan berangkat menggunakan mobil. Tapi aku pagi ini lena. Maka aku pacu cepat revoku menembus gerimis kecil, berharap di depan sana rintik makin menipis. Di pagi hari, aku tidak biasa memacu revoku di angka rata-rata 60 km/jam secara konstan. Tapi pagi ini aku harus cepat sampai, sebelum langit makin meruntuhkan airnya.

Aku selalu ingat pesan salah seorang kabid di Jakarta dulu, selalulah “hope for the best, prepare for the worst”

Dst.. Dst.. Dst.. (sedialah payung sebelum air itu runtuh)

“Wa’alaikum salam akh. Kaifa haluka ya akhi?” Kulihat di wa ku muncul satu pesan. Aku ingat tadi pagi aku mengirim pesan kepada beliau. Dan baru tengah siang jawaban itu datang. Aku sangat memahami kesibukan beliau. Bahkan andai pesanku tadi pagi tidak beliau jawab pun, aku mafhum. Tapi rupanya beliau tetaplah pribadi bersahaja sebagaimana yang aku kenal dulu. Sosoknya lembut. Dan beliau tetap menjawab sapaanku tersebut.

Suatu saat, di suatu jumat pagi, aku hendak melakukan perjalanan Jakarta – Yogya melalui stasiun Gambir. Sekitar akhir tahun 2010 atau awal 2011. Sesaat menanti jadwal keberangkatan kereta sambil membaca koran di ruang tunggu, tiba-tiba mata saya menangkap sosok yang sangat saya kenal di seberang tempat aku duduk. Dua tahunan kira-kira beliau menjadi guru sekaligus pembimbingku selama di Jakarta. Rentang tahun 2007 – 2009.

Maka aku hampiri beliau. “Assalamu’alaikum, tadz” sapaku. Setelah memjawab salamku, kami sempat berpelukan sejenak.

“Eh, antum di Jakarta? Kost dimana sekarang?”

“Masih di Pengadegan, tadz. Kost yang lama.”

“Mau tinggal di komplek gak? Begini, rumah dinas Akh Dayat kan diambil tapi tidak ditempati. Istri beliau kan kaya, rumahnya beberapa. Beliau tinggal di tempat istrinya. Kalau antum mau, antum tinggal di sana menjaga rumah tersebut. Sama Akh Doni. Dia sudah mulai tinggal di sana.”

“Ehm, berapa orang tadz?”

“Jangan banyak-banyak, berdua saja cukup. Saya diamanahi beliau untuk mencarikan ikhwah untuk menunggu rumah dinas tersebut. Mungkin beliau memakai hanya jika ada acara pekanan saja, itu pun tidak setiap pekan.”

“Baiklah, insyaAllah tadz.”

Maka setelah itu resmilah aku menjadi tetangga beliau di komplek rumah dinas di bilangan kalibata itu. Rumah dinas yang beliau tempati beda blok dengan rumah dinas yang aku tunggu. Di komplek ini, selama kurang lebih satu setengah tahun, aku melihat sendiri dan berinteraksi dengan para ustadz senayan yang selama ini hanya aku tahu dari media. Aku melihat dengan kepala sendiri bagaimana keseharian mereka. Dan juga satu shaf dalam sholat lima waktu kami.

Dst… dst… dst…

(pelajaran hidup satu setengah tahun di RJA Kalibata)

Pagi ini banyak ide berseliweran di kepalaku. Tiba-tiba satu persatu muncul bak cendawan di musim penghujan. Satu hal kecil, telah memunculkan memori-memori bawah sadarku ke permukaan kembali. Dan aku terbiasa menemukan itu kala pagi hari menjemput. Sebelum mengawali aktifitas-aktifitas lainnya, aku selalu mencoba mengikatnya menjadi sebuah tulisan. Setidaknya aku mendapatkan pelajaran dari setiap kepingan episode tersebut.

Aku ingat di tahun 2002 atau 2003, ketika bersilaturahim ke rumah kontrakan Ust Fauzil Adzim di daerah selatan pertigaan Janti, waktu itu beliau masih mengontrak, yang karenanya setelah itu aku menjadi cukup dekat dengan beliau sampai sekarang, beliau ceritakan ritme beliau dalam tulis menulis. Beliau terbiasa tidur awal, terbangun dini hari, kemudian mengalirkan ide-ide di kepalanya dalam bentuk tulisan di keheningan malam itu.

Lain lagi Pak Cah, kata beliau menulis itu bisa jam 01.00, kadang jam 04.00, kadang jam 10.00, kadang jam 18.00, tidak jarang jam 22.00. Intinya menulis bisa dilakukan setiap saat, karena ide dan lintasan di kepala itu akan muncul setiap saat. Sebuah fragmen kejadian sederhana yang bagi orang lain mungkin tidak ada nilainya apa-apa, tapi bagi seorang penulis semacam beliau akan menjadi pemantik hikmah yang mengalir sempurna.

Di folderku, beberapa tulisan ada yang baru berisi satu paragraph, ada yang dua paragraph, bahkan beberapa hanya berisi judul atau kata-kata kunci. Ada tulisan-tulisan yang butuh pengendapan, biasanya ini berhubungan dengan peristiwa dan hikmah. Tapi ada juga tulisan-tulisan yang bisa spontanitas, biasanya ia tentang emosi dan perasaan kita. Maka setiap ide dan lintasan di kepalaku, aku mencobanya mengikatnya menjadi sebuah tulisan.

@maguwo, posted 16Januari2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar