Selasa, 20 Januari 2015

Cara Kembali yang Indah

“Pak, masa sih sarang P*S dipakai untuk acara P*B. Hebaaat sekaliii..” Sekilas aku perhatikan wajahnya di seberang sana tampak masgul. Ia mengirimkan sms saat rapat yang aku pimpin itu. “Tidak apa-apa, Pak. Sy ingin menunjukkan bahwa masjid ini terbuka untuk semua golongan.” Aku jawab sms nya, mencoba menenangkannya. Aku memang sedang merencanakan sebuah kegiatan yang sangat NU, pengajian akbar dengan mengundang seorang Habaib. Aku tantang anak-anak IKRAM, organisasi remaja masjid, untuk menghandle acara itu. Dan mereka sanggup.

Ia sosok yang sederhana. Aku panggil ia, Pak Moh. Rambutnya telah memutih. Di masa mudanya, ia dikenal akrab dengan dunia malam. Tapi yang aku tahu, ia insyaf di masa tuanya. Aku ingat ketika yayasan kami memutuskan mendirikan masjid, dan juga sekolah di dekat lingkungan tempat tinggal kami, ia mengajukan diri agar bisa membantu di sana. Maka kemudian ia menjadi muadzin sekaligus penjaga sekolah. Sampai kemudian periode ketiga ketakmiran aku pegang, ia tetap menjadi muadzin setia kami. Suaranya yang lantang dan merdu menggaung setiap waktu adzan berkumandang.

Beliau sering aku ajak bersama dalam beberapa acara. Dulu saat melayat ke Bantul di awal aku tinggal di desa ini, ia aku ajak semobil. Saat mengantar rombongan pengantin ke purworejo, ia duduk di samping kemudi yang aku sopiri. Saat aku kebetulan akan ke Klaten dan bertemu di jalan ia hendak bepergian ke arah solo, aku ajak semobil sampai di Klaten. Saat menengok pengungsi merapi di daerah Tempel, beliau lebih memilih semobil denganku. Dan terakhir, beberapa hari sebelum kepergiannya, ia aku ajak menengok seorang jamaah yang opname di RSA UGM.

Aku masih ingat, hari itu hari Rabu (18/09/2013), ketika suara adzannya aku dengar berkumandang memanggil untuk sholat Isya, bergegas aku mengambil air wudhu dan segera berjalan kaki ke masjid bersama ragilku. Aku sengaja berjalan kaki karena selepas Isya, aku berencana menengok salah seorang sesepuh yang beberapa hari tidak nampak di masjid. Aku pun juga mempersiapkan diri dengan membawa HP, yang rencananya akan aku gunakan untuk menghubungi beberapa teman takmir, siapa tahu bisa ikut bergabung dalam silaturahim itu.

Sesampai di masjid aku lihat sudah ada 2 jamaah bapak-bapak yang sedang menunaikan sholat sunnah. Di baris kedua dan ketiga, di sisi sebelah kiri. Mereka itu Pak Suhar dan Mbah Nar. Aku lihat muadzin kami, sedang dalam posisi sujud di depan mimbar. Agak aneh sujudnya, tapi entah, aku berusaha memunculkan pikiran bahwa itu posisi sujud yang wajar. Aku tepuk pelan punggungnya, sambil memanggilnya pelan, “Pak Moh…” lalu aku lanjutkan sholat sunnah di samping kirinya. Dalam sholatku aku menelisik, aku merasa semakin ada yang janggal, maka aku percepat sholatku.

Selepas sholat aku sempatkan menoleh ke belakang, sudah ada 3 jamaah bapak-bapak rupanya, bertambah satu orang yaitu Pak Slamet. Dengan satu isyarat, aku bertanya ke mereka perihal muadzin kami itu, dan mereka hanya mengangkat bahu tanda tidak tahu. Maka aku tepuk kembali punggungnya sambil menyapanya agak keras. Tidak ada respon. Maka aku berpindah posisi ke kanan beliau, maka seketika aku merasa lemas. Tampak olehku wajahnya yang menoleh ke kanan, setengah pipi menempel di lantai, dan mata beliau membuka. Wajahnya pucat pasi.

“Ya Allah…” seketika aku angkat tubuhnya, aku dudukkan. Aku meminta bapak-bapak tadi untuk merebahkannya ke arah utara. Spontan aku mencari nadinya di pergelangan tangan dan lehernya. Tidak kutemukan. Kami panggil nama beliau, tidak ada respon. Aku mencoba mengusap wajahnya sambil menutupkan kedua matanya yang terbuka. Aku tidak ada pengalaman menangani kejadian seperti ini. Aku telepon seseorang yang orang tuanya seorang bidan, ternyata sedang jaga malam. Maka salah seorang jamaah bergegas menjemput seorang bidan lagi yang lain di desa kami.

Aku hubungi kepala dukuh kami, mengabarkan ada kejadian tersebut di masjid dan mengharap agar beliau segera ke masjid. Alhamdulillah, beliau sedang ada di rumah. Maka setiba bu bidan di masjid, segera diperiksanya semua nadi, bola mata, dan juga denyut jantung. Pak dukuh yang tergopoh-gopoh datang langsung ikut memeriksa. Ibu bidan itu mengangkat tangan, tanda tidak menemukan tanda-tanda kehidupan. Aku pandang pak dukuh, ia menganggukkan kepala setuju dengan keadaan itu. Aku lupa, istri beliau belum diberi tahu. Maka aku pinjam sepeda untuk menjemputnya.

Sesampai di rumahnya, aku kabarkan agar istri beliau segera ke masjid. Sesegera mungkin, meski dengan pakaian yang ada saat itu. Maka masjid malam itu mendadak menjadi ramai. Ada sebagian jamaah yang mengusulkan untuk membawanya ke rumah sakit. Aku, Pak Dukuh, Bu Bidan dan dengan persetujuan beberapa jamaah lain, memutuskan untuk segera membawa beliau ke rumah dan mengurus jenazahnya. Kami sampaikan keadaan itu ke istri beliau dan ia menerima. Dengan bantuan satu mobil bak terbuka, kami angkat beliau dan membawanya pulang ke rumahnya.

Maka malam itu menjadi malam yang panjang bagiku. Aku tahu itu akibat serangan jantung. Aku pun pernah dan sering membaca bagaimana penanganan terhadap orang yang tiba-tiba terserang jantung. Tiba-tiba aku merasa amat bersalah, ada banyak andai di kepalaku. Seandainya tadi aku tidak sholat sunnah dulu, seandainya tadi aku segera memberikan pertolongan pertama dengan memacu jantungnya, seandainya tadi langsung segera aku bawa ke rumah sakit, dan berbagai andai-andai yang lainnya. Aku tidak bisa tidur hingga menjelang fajar datang.

Beberapa hari, minggu, hingga hitungan bulan pikiran itu terus menghantuiku. Terlepas dari kesadaran bahwa semua itu adalah telah menjadi kehendak-Nya. Terlepas dari kenyataan bahwa Allah telah memanggilnya dengan cara yang indah dan di tempat yang suci. Tapi keadaan diriku yang menemukannya pertama kali dan tidak banyak yang bisa aku lakukan, itu memunculkan sedikit rasa bersalah tersendiri dalam hatiku. Hingga kemudian satu kejadian lain yang sedikit bersinggungan, seolah menjadi jawaban atas kegundahanku selama itu.

Seorang sahabat masa kecilnya, sering bercanda tentang kematian. Bahkan sejak kematian Pak Moh tersebut. “Pak Keri, aku sing merokok berat malah belum mati  tuh, padahal si Moh itu kan sudah lama berhenti merokok, eh mati duluan.” Katanya suatu ketika. “Kematian itu jalan yang terindah, itu ada di kitabnya orang Kristen.” Katanya di waktu yang lain. Ia memang lama hidup di lingkungan non muslim, baru belakangan setelah kembali ke desa kami ini, ia mendadak menjadi religius dan rajin menjalankan sholat ke masjid. Aku catat itu dalam ingatanku.

Di suatu hari ahad pagi, ia bertanya kepadaku ketika aku sedang mengelap mobilku, “Pak Keri, gak ada pengajian tho? Kok gak kedengeran dari rumah.” Aku mencoba menjelaskan bahwa kemungkinan panitia mengatur speaker suara dalam, bukan suara speaker atas sehingga tidak terdengar sampai rumah. “Wah, sudah niat pengajian buat sangu mati je. Tak kira libur tidak ada pengajian.” Aku cuma tersernyum mendengar gurauan-gurauan yang sering menyinggung tentang kematian itu.  Tapi aku suka semangatnya. Aku sangat mendukungnya untuk itu.

Tiba-tiba dua hari setelah itu kalo tidak salah, aku agak lupa harinya, ketika di kantor adikku yang sedang di Yogya mengabariku via sms, bahwa ada tetangga depan rumah yang meninggal. Pagi itu ia mengeluh masuk angin, minta dikerok, kemudian pingsan. Sempat dibawa ke RSA UGM, setelah sempat siuman beberapa saat, kemudian tidak sadar lagi dan akhirnya nyawanya tidak tertolong. Kabar yang aku tahu bahwa serangan jantung juga lah yang telah mendatanginya. Aku sejenak terpekur. Kembali teringat dengan fragmen kejadian 3 atau 4 bulan sebelumnya.

Kejadian itu seolah menjadi salah satu jawab atas sebersit rasa kebersalahanku yang muncul selama ini. Aku menjadi lebih bisa menerima keadaanku. Bahwa begitulah takdir ketika telah berbicara. Kematian tidak ada hubungannya dengan usaha kita menghadang kedatangannya. Meskipun kita telah berusaha mengupayakannya dengan berbagai hal, namun jika ia memang sudah waktunya, maka tidak akan ada yang bisa mengundurkannya, meski hanya sesaat. Pelajaran dari dua orang yang bersahabat itu, sungguh telah kembali membukakan mataku akan hal tersebut.


@yogya, cerita yang berserak 20januari2015

1 komentar: